BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Setiap
komunikasi yang dilakukan oleh siapapun memiliki
tujuan. Paling tidak
komunikasi yang dilakukan mengarah kepada komunikasi efektif melalui pemaknaan
yang sama atas pesan yang dipertukarkan di antara peserta komunikasi. Pemaknaan
pesan akan semakin sulit pada wilayah komunikasi antar budaya, karena
disebabkan oleh beberapa hal yaitu :
Pertama,
perbedaan budaya diantara para peserta komunikasi antar budaya jelas hambatan yang
terbesar. Sebab dengan berbeda budaya tersebut akan menentukan cara
berkomunikasi yang berbeda serta simbol ( bahasa ) yang mungkin berbeda pula.
Kedua,
dalam komunikasi
yang melibatkan peserta komunikasi yang berbeda budaya akan muncul sikap etnosentrime, yaitu
memandang segala sesuatu dalam kelompok sendiri sebagai pusat segala sesuatu,
dan hal – hal lainnya diukur dan dinilai berdasarkan rujukan kelompoknya.
Ketiga,
kelanjutan dari
sikap etnosentris ini akan memunculkan sikap stereotip, yaitu sikap
generalisasi atas kelompok orang, objek, atau peristiwa secara luas dianut
suatu budaya. Memang stereotip tidak selamanya buruk. Ada setitik kebenaran
dalam stereotip, Dalam arti bahwa sebagian stereotip cukup akurat
sebagai informasi terbatas untuk menilai sekelompok orang yang hampir tidak kita
kenal.
Berbagai
hambatan sering kali mengikuti proses komunikasi. Hambatan komunikasi akan
menyebabkan terdistorsinya pesan yang disampaikan sehingga komunikan tidak
dapat menerima pesan secara utuh pesan yang disampaikan oleh komunikator.
Dengan demikian meminimalisir hambatan komunikasi akan menentukan efektivitas
komunikasi antar budaya.
1.2 RUMUSAN MASALAH
a.
Apa itu
komunikasi lintas/antar budaya?
b.
Apa saja
hambatan yang dapat terjadi?
c.
Apa itu
stereotip, etnosentrisme, rasisme, prasangka?
d.
Adakah hal yang
dapat membuat komunikasi lintas/antar budaya itu menjadi evektif?
1.3 TUJUAN
a.
Untuk mengetahui
maksud dari pada komunikasi lintas/antar budaya
b.
Untuk mengetahui
hambatan-hambatan apa saja yang dapat terjadi dalam komunikasi lintas/antar
budaya
c.
Untuk mengetahui
hal-hal yang dapat menjadikan komunikasi lintas/antar budaya itu menjadi
evektif
BAB II
HAMBATAN-HAMBATAN DALAM KOMUNIKASI
LINTAS BUDAYA/ANTAR BUDAYA
2.1 KOMUNIKASI
LINTAS/ANTAR BUDAYA
Komunikasi
merupakan sebuah proses dimana sebuah interaksi antara komunikan dan
komunikator yang melakukan pertukaran pesan didalamnya yang terjadi secara
langsung maupun tidak langsung, komunikasi sendiri bisa dikatakan merupakan hal
yang paling krusial dalam kehidupan ini. Sebuah interaksi sosial bisa tidak
berarti apa-apa jika komunikasi didalamnya tidak berjalan pada semestinya,
begitu juga dalam dunia professional atau dunia kerja, komunikasi merupakan hal
yang penting dalam memberikan instruksi dari pemimpin kebawahan atau
sebaliknya.
Budaya
yang bahasa Inggris culture atau dari bahasa Latin colere yang
berarti merawat, memelihara dan menjaga. Pada abad pertengahan kata budaya
belum digunakan, baru pada abad ke 17 kata latin cultura dipergunakan dalam
hubungan dengan alam dan pengembangan kemampuan spiritual. Budaya merujuk pada
segala yang diciptakan oleh manusia, maksud dan tujuan budaya adalah untuk
kesempurnaa manusia.
Secara
umum komunikasi antarbudaya adalah “Proses saling berbagai informasi,
pengetahuan, perasaan dan pengalaman yang dilakukan oleh manusia dari berbagai
budaya. Setiap budaya memiliki nilai-nilai dan sikap-sikap yang
dikomunikasikan, sepertinya cara orang Jepang yang yang membungkukan badan satu
sama lain, berbeda dengan gaya penyambutan oleh bangsa lainnya didunia.
Sehingga setiap orang harus dapat memahami secara lengkap semua tatanan
struktur dan proses komunikasi, misalnya dalam komunikasi Etnik dari
beberapa kelompok budaya yang berbeda sehingga dapat disampaikan dan diterima
pesan komunikasi secara benar.
2.2 HAMBATAN DALAM
KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA
Memahami secara jelas
dan komprehensif berbagai hambatan dalam komunikasi antar budaya adalah
jembatan kearah perwujudan komunikasi antar budaya yang efektif. Secara teoretik
terdapat beberapa hambatan yang ditemui dalam komunikasi antar budaya, yaitu :
1. Hambatan Yang
Bersumber Pada Unsur Kebudayaan
Tidak dapat dipungkiri bahwa
perbedaan merupakan salah satu faktor
yang mempengaruhi efektivitas
komunikasi antar budaya. Perbedaan budaya ini lebih “kental” terasa pada aspek
sistem kepercayaan, pandangan hidup tentang dunia dan organisasi sosial. Ketiga unsur tersebut sangat kuat mepengaruhi kebudayaan
masyarakat.
Setiap budaya, pandangan hidup dan organisasi sosial
memiliki kompleksitasnya masing – masing yang akan berbeda antar daerah. Ketika
tidak memahami persoalan budaya orang lain secara utuh, maka komunikasi akan
mengalami banyak kesulitan ( hambatan ).
Hambatan yang bersumber pada perbedaan kebudayaan ini
lebih kepada faktor heterofili, sebagaimana dikatakan Rogers (dalam
Purwasito,2003:177), demikian:
Perbedaan latar
belakang budaya sebagai faktor heterofili. Faktor heterofili mencapai hasil
komunikasi yang kurang optimal dan tindak komunikasi tidak berjalan secara
efektif. Keberhasilan tindak komunikasi lebih mudah tercapai dan efektif
apabila para partisipan komunikasi mempunyai persamaan (homofili).
2. Hambatan
Perbedaan Persepsi dan Sikap
Menurut John R. Weinburg dan
William W. Wilmot, persepsi adalah cara memberi makna, Rudolph
F. Verderber, persepsi adalah menafsisrkan informasi inderawi, sedangkan menurut J. Cohen, persepsi yaitu interpretasi bermakna
atas sensasi sebagai representasi objek eksternal, pengetahuan yang tampak ada
di luar diri. Berbekal persepsi ini, partisipan komunikasi akan memilih apa yang
diterima atau menolak suatu pesan. Persepsi yang sama akan memudahkan dan
melancarkan komunikasi (Purwasito,2003:172)
Persepsi masih berada pada wilayah penalaran, ia akan
menjelma menjadi sikap (pendirian) menerima atau menolak. Persepsi dan sikap
setiap orang atau kelompok orang terhadap suatu realitas atau fenomena sangat
beragam, bahkan berbeda – beda. Sesungguhnya hambatan perbedaan persepsi dan
sikap ini masih terkait dengan faktor kepercayaan. Artinya, seseorang atau
kelompok orang yang memiliki kepercayaan yang berbeda akan memiliki persepsi
dan sikap yang berbeda dalam memandang suatu realitas.
3. Hambatan
Perbedaan Perspektif
Perspektif (a way of
looking) adalah pemahaman terhadap suatu objek, peristiwa atau benda yang
bergantung kepada pengamatan (observasi) dan penafsiran (interpretasi) kita
sendiri. Hambatan pengaruh unsur – unsur kebudayaan terhadap perspektif masing
– masing orang mungkin berbeda – beda sudut dan cara pandangnya tergantung dari
ide atau
konseptualisasi yang kita ketahui mengenai suatu peristiwa yang berlangsung.
Dengan kata lain, masalah perspektif komunikasi antar budaya disini adalah
masalah konseptualisasi dalam perspektif yang berlatar belakang perbedaan
kebudayaan.
4. Hambatan
Stereotif dan Prasangka
Prasangka adalah apa yang
ada dalam pemikiran kita terhadap individu atau kelompok lain seperti dalam
hubungan ras dan etnis atau melalui media massa yang populer. Prasangka
memiliki kecenderungan bersifat negatif terhadap kelompok atau hal – hal khusus
seperti ras, agama, dan lain – lain.
Prasangka menjadi focus
kajian berangkat dari adanya pendangan negatif yang diiringi oleh adanya
pemisahan yang tegas antara perasaan kelompokku (in group) dan perasaan
kelompok lain (out group feelling). Apabila permulaan komunikasi sudah diawali
oleh prasangka, maka komunikasi pun tidak akan berjalan efektif.
Hambatan prasangka negatif
terhadap kelompok mencakup tiga tipe prasangka, yaitu :
a.
Prasangka kognitif, apa yang benar menurut
kelompok kognisi berada pada ranah “memahami” yang merupakan cara kerja otak.
Dengan demikian prasangka kognitif merupakan cara berpikir “benar atau salah’
menurut kelompoknya terhadap orang atau kelompok lain.
b.
Prasangka afektif, sama sekali tidak menyukai
suatu kelompok. Prasangka ini berada pada ranah perasaan yang merupakan cara
kerja hati. Ketika suatu kelompok memiliki perasaan yang berbeda “suka atau
tidak suka” akan mempengaruhi komunikasi yang dibangun.
c.
Prasangka konatif,
yang
bersifat diskriminatif atau agresif terhadap kelompok. Prasangka ini berada
pada ranah perilaku (action) yang cenderung bersikap agresif terhadap orang
ain. Jika suatu kelompok merasa tidak suka kepada kelompok lain maka akan
bersikap diskriminatif, memisahkan diri dan
lain – lain.
Penyebab Prasangka
1.
Sumber Sosial
Banyak prasangka
yang dibangun dalam organisasi dan institusi masyarakat yang besar. Menurut
Oskamp, organisasi-organisasi ini menetapkan hukum, peraturan, dan norma yang
menimbulkan prasangka dalam suatu masyarakat. Hukum dan peraturan ini menolong
untuk “mempertahankan kekuasaan suatu kelompok dominan terhadap kelompok yang
dibawahnya.”
2.
Mempertahankan
identitas sosial
Ketika kita
membahas identitas, kita telah menyatakan bagaimana pentingnya identitas
seseorang dalam hubungannya dengan budaya. Hubungan ini merupakan hubungan yang
personal dan emosional. Hal ini menciptakan hubungan antara individu dan
budayanya. Segala sesuatu yang mengancam ikatan tersebut, seperti anggota
kelompok luar, dapat menjadi target prasangka.
3.
Mencari kambing
hitam
Pencarian
kambing hitam terjadi ketika sekelompok orang tertentu, biasanya kaum
minoritas, dipilih untuk dipersalahkan terhadap suatu kejadian tertentu,
misalnya kesulitan ekonomi atau sosial yang memengaruhi kelompok dominan.
Mencari kambing hitam dan hubungannya dengan prasangka dijelaskan oleh Kaplan
ketika ia menulis bagaimana pengambinghitaman ini memungkinkan anggota kelompok
dalam menyatakan rasa frustasi dan permusuhan mereka dengan berprasangka buruk
terhadap anggota kelompok luar. Sepanjang sejarah, orang kulit hitam, orang
Yahudi, kaum gay, dan kelompok minoritas lainnya sering dijadikan sebagai
kambing hitam.
Menghindari Prasangka
Menghindari
prasangka bukanlah hal yang mudah karena aspek persepsi budaya pada umumnya,
prasangka rasial dan budaya dipelajari sejak kecil dan ditanamkan melalui
interaksi. Namun, penelitian membuktikan bahwa ada dua teknik yang dapat
digunakan dalam mencegah prasangka: hubungan personal, dan pendidikan. Penelitian mengenai hubungan personal sebagai
cara untuk mengurangi prasangka dapat dilihat dalam sejarah pada awal tahun
1950-an. Peranan hubungan personal, sangat sederhana: semakin sering terjadi
hubungan positif antara anggota kelompok dalam dan kelompok luar, maka semakin
rendah level prasangka yang terjadi. Menurut Oskamp, supaya berhasil,
hubungan tersebut harus memenuhi
beberapa syarat, “kesetaraan antara kelompok” dan kerjasama “untuk mencapai
tujuan bersama.”
Ada
dua jenis program pendidikan yang digunakan psikolog untuk mengurangi
prasangka. Jenis yang pertama berpusat pada apa yang disebut dengan kurikulum
pendidikan multikultur. Menurut Stephan dan Stephan, kurikulum ini “biasanya
berisi materi tentang sejarah dan praktik budaya dari sejumlah kelompok rasa
dan etnis.” Jenis yang kedua, pelatihan keanekaragaman budaya, digunakan
umumnya dalam lingkungan bisnis dan oraganisasi dan berisi program-program
kelompok yang didesain “untuk mengajarkan manajer dan karyawan unuk menghargai
perbedaan kelompok, meningkatkan pemahaman diantara kelompok, dan menolong
setiap individu menyadari bahwa perilaku mereka sendiri dipengaruhi oleh latar
belakang mereka sendiri.”
Stereotip
Stereotif adalah salah satu bentuk prasangka yang
menghambat komunikasi antar budaya dalam hubungannya dengan ras, etnik,
kelompok agama/kepercayaan, berkulit hitam/putih. Sikap yang mengandung
stereotif mengelompokkan orang ke dalam in
group dan out group. Mereka akan
lebih mementingkan kelompoknya (in group) dari pada kelompok lain (out group). Sikap – sikap seperti itu
sering muncul ke permukaan dalam realitas kehidupan kita. Perkelahian
antarorganisasi yang dilatarbelakangi oleh fanatisme suku atau ras adalah
contoh konkret yang sering terjadi di Indonesia.
Penyebab stereotip
Menurut Baron &
Paulus (dalam Sobur, 2009:391) ada
dua faktor yang menyebabkan adanya stereotip yaitu :
1.
Kecendrungan
manusia untuk membagi dunia dengan dua kategori: kita dan mereka. Orang-orang
yang kita persepsi sebagai kelompok di luar kita dipandang lebih mirip satu
sama lain, karena kita kekurangan informasi mengenai mereka, kita cenderung
menyamaratakannya dan menganggapnya homogen.
2.
Kecendrungan
kita untuk melakukan kerja kognitif sesedikit mungkin dalam berpikir mengenai
orang lain. Dengan kata lain, stereotip menyebabkan persepsi selektif tentang
orang-orang dan segala sesuatu di sekitar kita. Dengan
memasukkan orang dalam kelompok, kita berasumsi bahwa kita tahu banyak tentang
mereka (sifat-sifat utama dan kecendrungan prilaku mereka), dan kita menghemat
tugas kita untuk memahami mereka sebagai individu.
Menghindari streotip
Pertama untuk
menghindari streotip dimulai dalam masa kanak-kanak. Ada banyak bukti bahwa
anak yang memiliki hubungan tatap muka yang positif dengan kelompok lain
memiliki sedikit streotip yang negatif dibandingkan anak yang menghindari
hubungan seperti itu.sebenarnya, peneliti menyarankan bahwa kebanyakan hubungan
positif dapat menghilangkan banyak efek streotip. Asumsinya adalah bahwa stereotip
dapat berubah ketika anggota dari kelompok
yang berbeda meningkatakan interaksi mereka satu sama lainya. Melalui
interaksi ini, streotip fiksi dan negatif dapat dibuktikan salah.
Metode efektif lainya untuk mengontrol stereotip
yang dikembangkan oleh Ting-Toomey dan Chung yang mengajak anda ”untuk
mempelajari perbedaan antara stereotip yang fleksibel dan tidak fleksibel, dengan
kata lain, stereotip yang tidak fleksibel itu bersifat kaku, tetap dan terjadi
secara otomatis. Anda menolak untuk menerima pendapat yang berlawanan dengan stereotip
tersebut, karena stereotip tersebut berakar kuat. Ketika anda memiliki stereotip
yang fleksibel anda mulai dengan menyadari kecenderungan anda untuk melakukan
kategorisasi. Dua aspek penting dari menjadi fleksibel adalah terbuka pada
informasi dan bukti yang baru dan waspada akan zona ketidaknyamanan anda.
5. Faktor – Faktor
Penghambat Komunikasi Antar budaya Lainnya
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa
komunikasi antar budaya lebih banyak terjadi pada wilayah komunikasi antar
pribadi. Jika demikian, hambatan – hambatan dalam komunikasi antar pribadi
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam komunikasi antar budaya.
Beberapa hambatan yang sering kali ditemui dalam
proses komunikasi antar pribadi adalah :
a. Hambatan sosio – antro – psikologis
Secara
sosiologis masyarakat terdiri dari berbagai golongan dan lapisan yang
menimbulkan perbedaan status, agama, ideologi, tingkat pendidikan, tingkat
kekayaan yang kesemuanya dapat menjadi hambatan bagi kelancaran komunikasi.
Hambatan secara antropologis timbul karena adanya
peebedaan postur, warna kulit dan kebudayaan yang membawa perbedaan pula dalam
gaya hidup (way of life), norma dan kebiasaan
Hambatan
psikologis berupa komunikasi yang dilangsungkan dalam keadaan sedih , bingung,
marah, merasa kecewa, iri hati. Menaruh prasangka kepada komunikator merupakan
salah satu hambatan berat dalam komunikasi.
b. Hambatan Semantis
Hambatan semantic (semantic noise) atau hambatan bahasa sering kali terjadi dalam komunikasi. Bahasa sering kali
bermakna ganda (konotatif – denotatif), bisa
juga hambatan bahasa disebabkan oleh perbedaan interpretas atas pesan yang
dipertukarkan. Contohnya bahasa Indonesia “jangan”
(larangan) sudah berbeda dengan “jangan”
(sayur) dalam bahasa Jawa, “atos”
(sudah) sunda dengan “atos” (keras)
Jawa.
c. Hambatan Mekanis
Hal ini dijumpai pada media
yang digunakan seperti krotokan suara telepon, huruf buram pada surat kabar,
suara hilang pada pesawat radio, sambungan kolom tidak beraturan pada surat
komunikasi antar budaya, gambar yang miring pada pesawat televisi.
d. Hambatan Ekologis
Hal ini disebabkan oleh
gangguan lingkungan proses berlangsungnya komunikasi seperti suara riuh,
kebisingan lalu lintas, hujan atau petir,
Suara
gemuruh pesawat terbang lewat. Untuk itu diperlukan upaya penghindaran
sebelumnya atau mengatasinya misalnya dengan cara menghentikan dahulu
kegiatannya atau memperkeras suaranya.
e.
Rasisme
Rasisme
merupakan kepercayaan terhadap superioritas yang diwarisi oleh ras tertentu.
Rasisme menyangkal kesetaraan manusia dan menghubungkan kemampuan dengan
komposisi fisik. Jadi, sukses tidaknya hubungan sosial tergantung dari warisan
genetik dibandingkan dengan lingkungan atau kesempatan yang ada.
Penting untuk
memperhatikan kata “superioritas” dalam pengertian ini. Pandangan tentang
superioritas inilah yang memungkinkan seseorang untuk memperlakukan kelompok
lain secara buruk berdasarkan ras, warna kulit, agama, negara asal, nenek
moyang. Kebodohan para rasis in bukan hanya karena perilaku mereka itu tidak
etis dan kejam, namun juga karena hal tersebut dapat membentuk premis yang
salah.
Ada empat
langkah yang dapat dilakukan untuk mengurangi rasa rasisme terhadap diri
sendiri maupun orang lain. Pertama, cobalah untuk jujur terhadap diri sendiri
ketika Anda memiliki pandangan rasial. Kedua, nyatakan ketidaksetujuan
Anda terhadap setiap lelucon atau hinaan
terhadap ras setiap kali mendengarnya. Ketiga, hormatilah kebebasan. Keempat,
analisislah akar sejarah rasisme.
f.
Etnosentrisme
Etnosentrisme
merupakan pandangan bahwa budaya seseorang lebih unggul dibandingkan budaya
yang lain. Pandangan bahwa budaya lain dinilai berdasarkan standar budaya kita.
Kita menjadi etnosentris ketika kita
melihat budaya lain melalui kacamata budaya kita atau posisi kita ( Nanda dan
Warms).
Karakteristik Etnosentrisme
1.
Tingkat
etnosentrisme
Etnosentrisme
dapat dilihat ada 3 tingkatan: positif, negatif, dan sangat negatif. Pertama,
positif, merupakan kepercayaan bahwa paling tidak bagi Anda, budaya Anda lebih
baik dari yang lain. Hal ini alami dan kepercayaan Anda berasal dari budaya
asli Anda. Pada tingkat negatif, Anda mengevaluasi secara bagian. Anda percaya
bahwa budaya Anda merupakan pusat dari segalanya dan budaya lain harus dinilai
dan diukur berdasarkan standar budaya Anda. Dan pada tingkat sangat negatif,
Anda menganggap budaya Anda sebagai budaya yang
paling berkuasa dan percaya bahwa nilai dan kepercayaan Anda harus diadopsi
oleh orang lain.
2.
Etnosentrisme
itu universal
Antropolog
setuju bahwa “kebanyakan orang merupakan etnosentris” dan bahwa “kadang sifat
etnosentrisme penting untuk mengeratkan hubungan dalam suatu masyarakat.”
Seperti budaya, etnosentrisme juga biasanya
dipelajari secara tidak sadar. Misalnya, sekolah yang hanya mengajarkan
sejarah, geografis, sastra, bahasa, serta pemerintahan negara mereka dengan
mengecualikan yang lainnya sedang melakukan tindakan etnosentrisme. Bahkan,
cerita dan dongeng tentang budaya mengajarkan orang muda mengenai
etnosentrisme. Keesing menjelaskan ajaran ini dalam tulisanya, “hampir selalu
dongeng berisi tentang keutamaan mereka, dan menempatkan kekuatan supernatural
dalam kebiasaan budaya tertentu.”
3.
Etnosentrisme
memengaruhi identitas budaya
Alasan lain
mengapa etnosentrisme begitu mendarah daging adalah bahwa etnosentris
memberikan identitas dan perasaan memiliki kepada anggotanya. Seperti yang
dituliskan oleh Rusen, ”keanggotaan dalam suatu kelompok, suatu negara atau
peradaban memeberikan rasa penghargaan diri, membuat masyarakat bangga akan
prestasi bangsanya.” Perilaku yang diartikan pendapat ini dalam etnosentrisme
dituliskan oleh Scarborough: ”Orang-orang bangga akan budaya mereka, mereka
harus bangga, karena budaya mereka merupakan sumber identitas, mereka memiliki
kesulitan memahami mengapa orang lain tidak berperilaku seperti mereka, dan
menganggap bahwa orang lain harus menjadi bagian dari mereka jika mereka
dapat.”
Haviland dan rekannya mengulangi fungsi penting ini ketika
menulis:
Untuk berfungsi secara efektif, kita mngkin
mengharapkan masyarakat untuk memiliki rasa bangga terhadap etnisnya dan
kesetiaan terhadap tradisi budaya yang unik, dari mana masyarakat mendapatkan
dukungan secara psikologis dan ikatan sosial yang kuat dengan kelompoknya.
Dalam masyarakat di mana identifikasi diri seseorang berasal dari kelompoknya,
etnosentrisme penting dalam membangun rasa penghargaan terhadap diri sendiri.”
Menghindari Etnosentrisme
Untuk
menghidari persepsi dan perilaku etnosentris bukanlah hal yang mudah.
Bagaimanapun, ada beberapa saran yang dapat dilakukan. Pertama, cobalah
menghindari dogmatisme. Dogmatisme merupakan cara seseorang berpegang pada
keyakinan-keyakinan mereka tanpa berpikir dan hanya ikut-ikutan saja. St. Thomas Aquinas mengatakan hal yang sama
ratusan tahun yang lalu: “Hati-hatilah terhadap seseorang dengan satu buku.”
Kedua, belajarlah untuk memiliki pandangan
yang terbuka. Triandis mengubah pandangan penting ini ke dalam tindakan dalam tulisannya,
“Ketika kita membuat penilaian komparatif
bahwa budaya kita lebih unggul dibandingkan yang lainnya, kita belajar
untuk mengikuti penilaian ini dengan dua pertanyaan: apakah hal ini benar?
Apakah ada bukti objektifnya?.” Salah satu tujuan buku ini adalah mengenalkan
kita pada keberagaman budaya.
2.3
KESADARAN
INDIVIDU KETIKA KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA BERLANGSUNG
Menurut William Howell
(1982), setiap individu mempunyai tingkat kesadaran akan kemampuan yang berbeda
– beda dalam berkomunikasi antar budaya. Tingkat kesadaran dan kemampuan
tersebut bisa diformulasikan dalam empat kemungkinan yaitu:
1. Seseorang sadar dan tidak
mampu memahami budaya orang lain. Keadaan ini terjadi karena dia tahu diri
bahwa dia tidak mampu memahami perbedaan
– perbedaan budaya yang dihadapi. Kesadaran ini dapat mendorong orang untuk
melakukan eksperimen bagi komunikasi antar budaya yang efektif.
2. Dia sadar bahwa dia mampu memahami budaya orang lain. Keadaan ini merupakan yang ideal,
artinya kesadaran akan kemampuan itu dapat mendorong untuk memahami,
melaksanakan, memelihara dan mengatasi komunikasi antar budaya.
3. Dia tidak sadar bahwa dia mampu memahami budaya orang lain.
Keadaan ini dihadapi manakala orang tidak sadar bahwa dia sebenarnya mampu
berbuat untuk memahami perilaku orang lain, dan mungkin orang lain menyadari
perilaku komunikasi dia.
4. Dia tidak sadar bahwa tidak mampu menghadapi perbedaan antar
budaya, keadaan ini terjadi manakala seseorang sama sekali tidak menyadari
bahwa sebenarnya dia tidak mampu menghadapi perilaku budaya orang lain
2.4
KONSEP
– KONSEP EFEKTIVITAS KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA
Para pakar komunikasi antar budaya mengemukakan
beberapa konsep tentang efektivitas komunikasi antar budaya, yaitu:
1.
Komunikasi antar
budaya akan efektif kalau setiap orang yang terlibat dalam proses komunikasi
mampu meletakkan dan memfungsikan komunikasi didalam suatu konteks kebudayaan
tertentu.
2. Efektivitas
komunikasi antar budaya sangat ditentukan oleh sejauh mana manusia meminimalkan kesalah pahaman atas pesan-pesan yang
dipertukarkan oleh komunikator dan komunikan antar
budaya.
3. Salah satu studi
yang dilakukan oleh Hammer (1987) menetapkan tiga tea sentral efektivitas
komunikasi yaitu:
a.
Keterampilan berkomunikasi.
b.
Kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan tekanan antar
budaya.
c.
Kemampuan untuk membangun relasi – relasi antar
budaya.
4. Hawes dan Kealey (1981) menyebutkan tiga aspek yang dapat dijadikan
sebagai faktor penentu efektivitas komunikasi antar budaya, yaitu:
a. Interaksi antar
budaya
b. Efektivitas yang
diciptakan oleh profesionalisme
c. Kemampuan
menyesuaikan diri sehingga dua pihak merasa puas dalam relasi antar budaya.
Pendapat diatas
(efektivitas komunikasi antar budaya) apabila disederhanakan menyangkut hal-hal
berikut:
1. Kemampuan
seseorang untuk menyampaikan semua maksud dan isi hatinya secara professional
sesuai dengan kemampuan dan kompetensi yang dia tampilkan secara prima
2. Kemampuan seseorang
untuk berinteraksi secara baik, misalnya mampu mengalih bahasakan semua maksud
isi hatinya secara tepat dan jelas.
3. Kemampuan
seseorang untuk menyesuaikan kebudayaan pribadinya dengan kebudayaan yang
sedang dihadapinya meskipun dia harus berhadapan dengan berbagai tekanan dalam
proses adaptasi tersebut.
4. Kemampuan
seseorang untuk memberikan fasilitas atau jaminan bahwa dia bisa menyesuaikan
diri atau bisa mengelola berbagai tekanan budaya lain terhadap dirinya.
Empat hal sebagaimana
dikemukakan diatas harus menjadi pegangan dalam interaksi komunikasi antar
budaya. Proses adaptasi antar budaya akan menjadi sulit apabila kita atau
siapapun tidak mau terbuka akan kehadiran budaya orang lain.
2.5
BEBERAPA
PANDANGAN DASAR DALAM MEWUJUDKAN EFEKTIVITAS KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA
Orang berkomunikasi dengan tujuan tertentu dan
mengharapkan berjalan efektif. Harapan efektivitas ini bergantung kepada sejauh
mana orang memahami konsep - konsep dasar efektivitas komunikasi antar budaya.
Adapun konsep – konsep dasar tersebut adalah sebagai berikut:
1. Efektivitas
komunikasi antar budaya sangat dibutuhkan dalam hubungan antar budaya.
2. Efektivitas
komunikasi antar budaya sangat ditentukan oleh dukungan iklim komunikasi yang
efektif.
3. Semua variabel
penentu komunikasi antar budaya harus dapat diidentifikasi.
4. Tanpa
keterampilan berkomunikasi secara efektif maka setiap orang akan merasa
diasingkan dalam hubungan antaar pribadi.
BAB III
PENUTUP
3.1
KESIMPULAN
ü Ada banyak
alasan pentingnya memahami identitas, melibatkan sisi pribadi dan psikologis.
Identitas juga merupakan poin penting dalam komunikasi antar budaya yang
sekarang ini menjadi sangat penting sebagai akibat dari gobalisasi dan
keanekaragaman domestic.
ü Identitas
diperoleh melalui interaksi dengan anggota lain dalam suatu kelompok budaya.
Keluarga memengaruhi pembentukan identitas awal. Model pembentukan identitas
dibentuk oleh Phinney serta oleh Martin dan Nakayama.
ü Identitas
terbentuk melalui keanggotaan dalam suatu kelompok dan terjadi dalam banyak
cara, termasuk upacara akil baligh,
penampilan
pribadi, dan keikutsertaan dalam perayaan. Konsep identitas dalam kelompok yang
sama dapat berubah setiap waktu.
ü Identitas
berperan penting dalam dalam komunikasi antar budaya. Komunikasi antar budaya
yang cakap dapat diperoleh ketika pelaku komunikasi menemukan kesamaan dalam
identitas warisan maupun identitas pengakuan.
ü Prasangka
merupakan perasaan kuat atau prilaku terhadap sekelompok orang tertentu.
ü Stereotip terjadi ketika seseorang mengelompokkan pengalaman
mengenai kelompok orang tertentu dan menjadikannya sebagai pedoman dalam
bertindak. Stereotip merujuk pada
norma perilaku tentang sekelompok orang bukan seorang pribadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar