Laman

Rabu, 16 Maret 2016

Hambatan-hambatan dalam Komunikasi Lintas Budaya/Antar Budaya

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  LATAR BELAKANG
Setiap komunikasi yang dilakukan oleh siapapun memiliki tujuan. Paling tidak komunikasi yang dilakukan mengarah kepada komunikasi efektif melalui pemaknaan yang sama atas pesan yang dipertukarkan di antara peserta komunikasi. Pemaknaan pesan akan semakin sulit pada wilayah komunikasi antar budaya, karena disebabkan oleh beberapa hal yaitu :
            Pertama, perbedaan budaya diantara para peserta komunikasi antar budaya jelas hambatan yang terbesar. Sebab dengan berbeda budaya tersebut akan menentukan cara berkomunikasi yang berbeda serta simbol ( bahasa ) yang mungkin berbeda pula.
            Kedua, dalam komunikasi yang melibatkan peserta komunikasi yang berbeda budaya akan muncul sikap etnosentrime, yaitu memandang segala sesuatu dalam kelompok sendiri sebagai pusat segala sesuatu, dan hal – hal lainnya diukur dan dinilai berdasarkan rujukan kelompoknya.
            Ketiga, kelanjutan dari sikap etnosentris ini akan memunculkan sikap stereotip, yaitu sikap generalisasi atas kelompok orang, objek, atau peristiwa secara luas dianut suatu budaya. Memang stereotip tidak selamanya buruk. Ada setitik kebenaran dalam stereotip, Dalam arti bahwa sebagian stereotip cukup akurat sebagai informasi terbatas untuk menilai sekelompok orang yang hampir tidak kita kenal.
Berbagai hambatan sering kali mengikuti proses komunikasi. Hambatan komunikasi akan menyebabkan terdistorsinya pesan yang disampaikan sehingga komunikan tidak dapat menerima pesan secara utuh pesan yang disampaikan oleh komunikator. Dengan demikian meminimalisir hambatan komunikasi akan menentukan efektivitas komunikasi antar budaya.

1.2  RUMUSAN MASALAH
a.       Apa itu komunikasi lintas/antar budaya?
b.      Apa saja hambatan yang dapat terjadi?
c.       Apa itu stereotip, etnosentrisme, rasisme, prasangka?
d.      Adakah hal yang dapat membuat komunikasi lintas/antar budaya itu menjadi evektif?

1.3  TUJUAN
a.       Untuk mengetahui maksud dari pada komunikasi lintas/antar budaya
b.      Untuk mengetahui hambatan-hambatan apa saja yang dapat terjadi dalam komunikasi lintas/antar budaya
c.       Untuk mengetahui hal-hal yang dapat menjadikan komunikasi lintas/antar budaya itu menjadi evektif




BAB II
HAMBATAN-HAMBATAN DALAM KOMUNIKASI
LINTAS BUDAYA/ANTAR BUDAYA

2.1 KOMUNIKASI LINTAS/ANTAR BUDAYA

Komunikasi merupakan sebuah proses dimana sebuah interaksi antara komunikan dan komunikator yang melakukan pertukaran pesan didalamnya yang terjadi secara langsung maupun tidak langsung, komunikasi sendiri bisa dikatakan merupakan hal yang paling krusial dalam kehidupan ini. Sebuah interaksi sosial bisa tidak berarti apa-apa jika komunikasi didalamnya tidak berjalan pada semestinya, begitu juga dalam dunia professional atau dunia kerja, komunikasi merupakan hal yang penting dalam memberikan instruksi dari pemimpin kebawahan atau sebaliknya.
Budaya yang bahasa Inggris culture atau dari bahasa Latin colere yang berarti merawat, memelihara dan menjaga. Pada abad pertengahan kata budaya belum digunakan, baru pada abad ke 17 kata latin cultura dipergunakan dalam hubungan dengan alam dan pengembangan kemampuan spiritual. Budaya merujuk pada segala yang diciptakan oleh manusia, maksud dan tujuan budaya adalah untuk kesempurnaa manusia.
Secara umum komunikasi antarbudaya adalah “Proses saling berbagai informasi, pengetahuan, perasaan dan pengalaman yang dilakukan oleh manusia dari berbagai budaya. Setiap budaya memiliki nilai-nilai dan sikap-sikap yang dikomunikasikan, sepertinya cara orang Jepang yang yang membungkukan badan satu sama lain, berbeda dengan gaya penyambutan oleh bangsa lainnya didunia. Sehingga setiap orang harus dapat memahami secara lengkap semua tatanan struktur dan proses komunikasi, misalnya dalam komunikasi Etnik dari beberapa kelompok budaya yang berbeda sehingga dapat disampaikan dan diterima pesan komunikasi secara benar.



2.2  HAMBATAN DALAM KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA

Memahami secara jelas dan komprehensif berbagai hambatan dalam komunikasi antar budaya adalah jembatan kearah perwujudan komunikasi antar budaya yang efektif. Secara teoretik terdapat beberapa hambatan yang ditemui dalam komunikasi antar budaya, yaitu :

1.      Hambatan Yang Bersumber Pada Unsur Kebudayaan
Tidak dapat dipungkiri bahwa perbedaan merupakan salah satu faktor  yang mempengaruhi  efektivitas komunikasi antar budaya. Perbedaan budaya ini lebih “kental” terasa pada aspek sistem kepercayaan, pandangan hidup tentang dunia dan organisasi sosial. Ketiga unsur tersebut sangat kuat mepengaruhi kebudayaan masyarakat.
                        Setiap budaya, pandangan hidup dan organisasi sosial memiliki kompleksitasnya masing – masing yang akan berbeda antar daerah. Ketika tidak memahami persoalan budaya orang lain secara utuh, maka komunikasi akan mengalami banyak kesulitan ( hambatan ).
                        Hambatan yang bersumber pada perbedaan kebudayaan ini lebih kepada faktor heterofili, sebagaimana dikatakan Rogers (dalam Purwasito,2003:177), demikian:
Perbedaan latar belakang budaya sebagai faktor heterofili. Faktor heterofili mencapai hasil komunikasi yang kurang optimal dan tindak komunikasi tidak berjalan secara efektif. Keberhasilan tindak komunikasi lebih mudah tercapai dan efektif apabila para partisipan komunikasi mempunyai persamaan (homofili).

2.      Hambatan Perbedaan Persepsi dan Sikap
Menurut John R. Weinburg dan William W. Wilmot, persepsi adalah cara memberi makna, Rudolph F. Verderber, persepsi adalah menafsisrkan informasi inderawi, sedangkan menurut J. Cohen, persepsi yaitu interpretasi bermakna atas sensasi sebagai representasi objek eksternal, pengetahuan yang tampak ada di luar diri. Berbekal persepsi ini, partisipan komunikasi akan memilih apa yang diterima atau menolak suatu pesan. Persepsi yang sama akan memudahkan dan melancarkan komunikasi (Purwasito,2003:172)
                        Persepsi masih berada pada wilayah penalaran, ia akan menjelma menjadi sikap (pendirian) menerima atau menolak. Persepsi dan sikap setiap orang atau kelompok orang terhadap suatu realitas atau fenomena sangat beragam, bahkan berbeda – beda. Sesungguhnya hambatan perbedaan persepsi dan sikap ini masih terkait dengan faktor kepercayaan. Artinya, seseorang atau kelompok orang yang memiliki kepercayaan yang berbeda akan memiliki persepsi dan sikap yang berbeda dalam memandang suatu realitas.

3.      Hambatan Perbedaan Perspektif
Perspektif (a way of looking) adalah pemahaman terhadap suatu objek, peristiwa atau benda yang bergantung kepada pengamatan (observasi) dan penafsiran (interpretasi) kita sendiri. Hambatan pengaruh unsur – unsur kebudayaan terhadap perspektif masing – masing orang mungkin berbeda – beda sudut dan cara pandangnya tergantung dari ide atau konseptualisasi yang kita ketahui mengenai suatu peristiwa yang berlangsung. Dengan kata lain, masalah perspektif komunikasi antar budaya disini adalah masalah konseptualisasi dalam perspektif yang berlatar belakang perbedaan kebudayaan.

4.      Hambatan Stereotif dan Prasangka
Prasangka adalah apa yang ada dalam pemikiran kita terhadap individu atau kelompok lain seperti dalam hubungan ras dan etnis atau melalui media massa yang populer. Prasangka memiliki kecenderungan bersifat negatif terhadap kelompok atau hal – hal khusus seperti ras, agama, dan lain – lain.
Prasangka menjadi focus kajian berangkat dari adanya pendangan negatif yang diiringi oleh adanya pemisahan yang tegas antara perasaan kelompokku (in group) dan perasaan kelompok lain (out group feelling). Apabila permulaan komunikasi sudah diawali oleh prasangka, maka komunikasi pun tidak akan berjalan efektif.
Hambatan prasangka negatif terhadap kelompok mencakup tiga tipe prasangka, yaitu :
a.             Prasangka kognitif, apa yang benar menurut kelompok kognisi berada pada ranah “memahami” yang merupakan cara kerja otak. Dengan demikian prasangka kognitif merupakan cara berpikir “benar atau salah’ menurut kelompoknya terhadap orang atau kelompok lain.
b.             Prasangka afektif, sama sekali tidak menyukai suatu kelompok. Prasangka ini berada pada ranah perasaan yang merupakan cara kerja hati. Ketika suatu kelompok memiliki perasaan yang berbeda “suka atau tidak suka” akan mempengaruhi komunikasi yang dibangun.
c.              Prasangka konatif, yang bersifat diskriminatif atau agresif terhadap kelompok. Prasangka ini berada pada ranah perilaku (action) yang cenderung bersikap agresif terhadap orang ain. Jika suatu kelompok merasa tidak suka kepada kelompok lain maka akan bersikap diskriminatif, memisahkan diri dan lain – lain.

Penyebab Prasangka
1.      Sumber Sosial
Banyak prasangka yang dibangun dalam organisasi dan institusi masyarakat yang besar. Menurut Oskamp, organisasi-organisasi ini menetapkan hukum, peraturan, dan norma yang menimbulkan prasangka dalam suatu masyarakat. Hukum dan peraturan ini menolong untuk “mempertahankan kekuasaan suatu kelompok dominan terhadap kelompok yang dibawahnya.”


2.      Mempertahankan identitas sosial
Ketika kita membahas identitas, kita telah menyatakan bagaimana pentingnya identitas seseorang dalam hubungannya dengan budaya. Hubungan ini merupakan hubungan yang personal dan emosional. Hal ini menciptakan hubungan antara individu dan budayanya. Segala sesuatu yang mengancam ikatan tersebut, seperti anggota kelompok luar, dapat menjadi target prasangka.
3.      Mencari kambing hitam
Pencarian kambing hitam terjadi ketika sekelompok orang tertentu, biasanya kaum minoritas, dipilih untuk dipersalahkan terhadap suatu kejadian tertentu, misalnya kesulitan ekonomi atau sosial yang memengaruhi kelompok dominan. Mencari kambing hitam dan hubungannya dengan prasangka dijelaskan oleh Kaplan ketika ia menulis bagaimana pengambinghitaman ini memungkinkan anggota kelompok dalam menyatakan rasa frustasi dan permusuhan mereka dengan berprasangka buruk terhadap anggota kelompok luar. Sepanjang sejarah, orang kulit hitam, orang Yahudi, kaum gay, dan kelompok minoritas lainnya sering dijadikan sebagai kambing hitam.

Menghindari Prasangka
Menghindari prasangka bukanlah hal yang mudah karena aspek persepsi budaya pada umumnya, prasangka rasial dan budaya dipelajari sejak kecil dan ditanamkan melalui interaksi. Namun, penelitian membuktikan bahwa ada dua teknik yang dapat digunakan dalam mencegah prasangka: hubungan personal, dan pendidikan.  Penelitian mengenai hubungan personal sebagai cara untuk mengurangi prasangka dapat dilihat dalam sejarah pada awal tahun 1950-an. Peranan hubungan personal, sangat sederhana: semakin sering terjadi hubungan positif antara anggota kelompok dalam dan kelompok luar, maka semakin rendah level prasangka yang terjadi. Menurut Oskamp, supaya berhasil, hubungan  tersebut harus memenuhi beberapa syarat, “kesetaraan antara kelompok” dan kerjasama “untuk mencapai tujuan bersama.”
Ada dua jenis program pendidikan yang digunakan psikolog untuk mengurangi prasangka. Jenis yang pertama berpusat pada apa yang disebut dengan kurikulum pendidikan multikultur. Menurut Stephan dan Stephan, kurikulum ini “biasanya berisi materi tentang sejarah dan praktik budaya dari sejumlah kelompok rasa dan etnis.” Jenis yang kedua, pelatihan keanekaragaman budaya, digunakan umumnya dalam lingkungan bisnis dan oraganisasi dan berisi program-program kelompok yang didesain “untuk mengajarkan manajer dan karyawan unuk menghargai perbedaan kelompok, meningkatkan pemahaman diantara kelompok, dan menolong setiap individu menyadari bahwa perilaku mereka sendiri dipengaruhi oleh latar belakang mereka sendiri.”

Stereotip
Stereotif adalah salah satu bentuk prasangka yang menghambat komunikasi antar budaya dalam hubungannya dengan ras, etnik, kelompok agama/kepercayaan, berkulit hitam/putih. Sikap yang mengandung stereotif mengelompokkan orang ke dalam in group dan out group. Mereka akan lebih mementingkan kelompoknya (in group) dari pada kelompok lain (out group). Sikap – sikap seperti itu sering muncul ke permukaan dalam realitas kehidupan kita. Perkelahian antarorganisasi yang dilatarbelakangi oleh fanatisme suku atau ras adalah contoh konkret yang sering terjadi di Indonesia.

Penyebab stereotip
Menurut Baron & Paulus (dalam Sobur, 2009:391) ada dua faktor yang menyebabkan adanya stereotip yaitu :
1.     Kecendrungan manusia untuk membagi dunia dengan dua kategori: kita dan mereka. Orang-orang yang kita persepsi sebagai kelompok di luar kita dipandang lebih mirip satu sama lain, karena kita kekurangan informasi mengenai mereka, kita cenderung menyamaratakannya dan menganggapnya homogen.
2.     Kecendrungan kita untuk melakukan kerja kognitif sesedikit mungkin dalam berpikir mengenai orang lain. Dengan kata lain, stereotip menyebabkan persepsi selektif tentang orang-orang dan segala sesuatu di sekitar kita. Dengan memasukkan orang dalam kelompok, kita berasumsi bahwa kita tahu banyak tentang mereka (sifat-sifat utama dan kecendrungan prilaku mereka), dan kita menghemat tugas kita untuk memahami mereka sebagai individu.

Menghindari streotip
Pertama untuk menghindari streotip dimulai dalam masa kanak-kanak. Ada banyak bukti bahwa anak yang memiliki hubungan tatap muka yang positif dengan kelompok lain memiliki sedikit streotip yang negatif dibandingkan anak yang menghindari hubungan seperti itu.sebenarnya, peneliti menyarankan bahwa kebanyakan hubungan positif dapat menghilangkan banyak efek streotip. Asumsinya adalah bahwa stereotip dapat berubah ketika anggota dari kelompok  yang berbeda meningkatakan interaksi mereka satu sama lainya. Melalui interaksi ini, streotip fiksi dan negatif dapat dibuktikan salah.
       Metode efektif lainya untuk mengontrol stereotip yang dikembangkan oleh Ting-Toomey dan Chung yang mengajak anda ”untuk mempelajari perbedaan antara stereotip yang fleksibel dan tidak fleksibel, dengan kata lain, stereotip yang tidak fleksibel itu bersifat kaku, tetap dan terjadi secara otomatis. Anda menolak untuk menerima pendapat yang berlawanan dengan stereotip tersebut, karena stereotip tersebut berakar kuat. Ketika anda memiliki stereotip yang fleksibel anda mulai dengan menyadari kecenderungan anda untuk melakukan kategorisasi. Dua aspek penting dari menjadi fleksibel adalah terbuka pada informasi dan bukti yang baru dan waspada akan zona ketidaknyamanan anda.





5.      Faktor – Faktor Penghambat Komunikasi Antar budaya Lainnya
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa komunikasi antar budaya lebih banyak terjadi pada wilayah komunikasi antar pribadi. Jika demikian, hambatan – hambatan dalam komunikasi antar pribadi menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam komunikasi antar budaya.
Beberapa hambatan yang sering kali ditemui dalam proses komunikasi antar pribadi adalah :

a.       Hambatan sosio – antro – psikologis
Secara sosiologis masyarakat terdiri dari berbagai golongan dan lapisan yang menimbulkan perbedaan status, agama, ideologi, tingkat pendidikan, tingkat kekayaan yang kesemuanya dapat menjadi hambatan bagi kelancaran komunikasi.
     Hambatan secara antropologis timbul karena adanya peebedaan postur, warna kulit dan kebudayaan yang membawa perbedaan pula dalam gaya hidup (way of life), norma dan kebiasaan
     Hambatan psikologis berupa komunikasi yang dilangsungkan dalam keadaan sedih , bingung, marah, merasa kecewa, iri hati. Menaruh prasangka kepada komunikator merupakan salah satu hambatan berat dalam komunikasi.

b.      Hambatan  Semantis
Hambatan semantic (semantic noise)  atau hambatan bahasa sering kali  terjadi dalam komunikasi. Bahasa sering kali bermakna ganda (konotatif – denotatif), bisa juga hambatan bahasa disebabkan oleh perbedaan interpretas atas pesan yang dipertukarkan. Contohnya bahasa Indonesia “jangan” (larangan) sudah berbeda dengan “jangan” (sayur) dalam bahasa Jawa, “atos” (sudah) sunda dengan “atos” (keras) Jawa.


c.       Hambatan Mekanis
Hal ini dijumpai pada media yang digunakan seperti krotokan suara telepon, huruf buram pada surat kabar, suara hilang pada pesawat radio, sambungan kolom tidak beraturan pada surat komunikasi antar budaya, gambar yang miring pada pesawat televisi.

d.      Hambatan Ekologis
Hal ini disebabkan oleh gangguan lingkungan proses berlangsungnya komunikasi seperti suara riuh, kebisingan lalu lintas, hujan atau petir, Suara gemuruh pesawat terbang lewat. Untuk itu diperlukan upaya penghindaran sebelumnya atau mengatasinya misalnya dengan cara menghentikan dahulu kegiatannya atau memperkeras suaranya.

e.       Rasisme
Rasisme merupakan kepercayaan terhadap superioritas yang diwarisi oleh ras tertentu. Rasisme menyangkal kesetaraan manusia dan menghubungkan kemampuan dengan komposisi fisik. Jadi, sukses tidaknya hubungan sosial tergantung dari warisan genetik dibandingkan dengan lingkungan atau kesempatan yang ada.
Penting untuk memperhatikan kata “superioritas” dalam pengertian ini. Pandangan tentang superioritas inilah yang memungkinkan seseorang untuk memperlakukan kelompok lain secara buruk berdasarkan ras, warna kulit, agama, negara asal, nenek moyang. Kebodohan para rasis in bukan hanya karena perilaku mereka itu tidak etis dan kejam, namun juga karena hal tersebut dapat membentuk premis yang salah.
Ada empat langkah yang dapat dilakukan untuk mengurangi rasa rasisme terhadap diri sendiri maupun orang lain. Pertama, cobalah untuk jujur terhadap diri sendiri ketika Anda memiliki pandangan rasial. Kedua, nyatakan ketidaksetujuan Anda  terhadap setiap lelucon atau hinaan terhadap ras setiap kali mendengarnya. Ketiga, hormatilah kebebasan. Keempat, analisislah akar sejarah rasisme.

f.        Etnosentrisme
Etnosentrisme merupakan pandangan bahwa budaya seseorang lebih unggul dibandingkan budaya yang lain. Pandangan bahwa budaya lain dinilai berdasarkan standar budaya kita. Kita menjadi etnosentris ketika  kita melihat budaya lain melalui kacamata budaya kita atau posisi kita ( Nanda dan Warms).

Karakteristik Etnosentrisme
1.      Tingkat etnosentrisme
Etnosentrisme dapat dilihat ada 3 tingkatan: positif, negatif, dan sangat negatif. Pertama, positif, merupakan kepercayaan bahwa paling tidak bagi Anda, budaya Anda lebih baik dari yang lain. Hal ini alami dan kepercayaan Anda berasal dari budaya asli Anda. Pada tingkat negatif, Anda mengevaluasi secara bagian. Anda percaya bahwa budaya Anda merupakan pusat dari segalanya dan budaya lain harus dinilai dan diukur berdasarkan standar budaya Anda. Dan pada tingkat sangat negatif, Anda menganggap budaya Anda sebagai budaya yang  paling berkuasa dan percaya bahwa nilai dan kepercayaan Anda harus diadopsi oleh orang lain.
2.      Etnosentrisme itu universal
Antropolog setuju bahwa “kebanyakan orang merupakan etnosentris” dan bahwa “kadang sifat etnosentrisme penting untuk mengeratkan hubungan dalam suatu masyarakat.” Seperti budaya, etnosentrisme juga biasanya  dipelajari secara tidak sadar. Misalnya, sekolah yang hanya mengajarkan sejarah, geografis, sastra, bahasa, serta pemerintahan negara mereka dengan mengecualikan yang lainnya sedang melakukan tindakan etnosentrisme. Bahkan, cerita dan dongeng tentang budaya mengajarkan orang muda mengenai etnosentrisme. Keesing menjelaskan ajaran ini dalam tulisanya, “hampir selalu dongeng berisi tentang keutamaan mereka, dan menempatkan kekuatan supernatural dalam kebiasaan budaya tertentu.”
3.      Etnosentrisme memengaruhi identitas budaya
Alasan lain mengapa etnosentrisme begitu mendarah daging adalah bahwa etnosentris memberikan identitas dan perasaan memiliki kepada anggotanya. Seperti yang dituliskan oleh Rusen, ”keanggotaan dalam suatu kelompok, suatu negara atau peradaban memeberikan rasa penghargaan diri, membuat masyarakat bangga akan prestasi bangsanya.” Perilaku yang diartikan pendapat ini dalam etnosentrisme dituliskan oleh Scarborough: ”Orang-orang bangga akan budaya mereka, mereka harus bangga, karena budaya mereka merupakan sumber identitas, mereka memiliki kesulitan memahami mengapa orang lain tidak berperilaku seperti mereka, dan menganggap bahwa orang lain harus menjadi bagian dari mereka jika mereka dapat.”
Haviland  dan rekannya mengulangi fungsi penting ini ketika menulis:
 Untuk berfungsi secara efektif, kita mngkin mengharapkan masyarakat untuk memiliki rasa bangga terhadap etnisnya dan kesetiaan terhadap tradisi budaya yang unik, dari mana masyarakat mendapatkan dukungan secara psikologis dan ikatan sosial yang kuat dengan kelompoknya. Dalam masyarakat di mana identifikasi diri seseorang berasal dari kelompoknya, etnosentrisme penting dalam membangun rasa penghargaan terhadap diri sendiri.”

Menghindari Etnosentrisme
Untuk menghidari persepsi dan perilaku etnosentris bukanlah hal yang mudah. Bagaimanapun, ada beberapa saran yang dapat dilakukan. Pertama, cobalah menghindari dogmatisme. Dogmatisme merupakan cara seseorang berpegang pada keyakinan-keyakinan mereka tanpa berpikir dan hanya ikut-ikutan saja.  St. Thomas Aquinas mengatakan hal yang sama ratusan tahun yang lalu: “Hati-hatilah terhadap seseorang dengan satu buku.”
     Kedua, belajarlah untuk memiliki pandangan yang terbuka. Triandis mengubah pandangan penting ini ke dalam tindakan dalam tulisannya, “Ketika kita membuat penilaian komparatif  bahwa budaya kita lebih unggul dibandingkan yang lainnya, kita belajar untuk mengikuti penilaian ini dengan dua pertanyaan: apakah hal ini benar? Apakah ada bukti objektifnya?.” Salah satu tujuan buku ini adalah mengenalkan kita pada keberagaman budaya.



2.3 KESADARAN INDIVIDU  KETIKA  KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA    BERLANGSUNG

            Menurut William Howell (1982), setiap individu mempunyai tingkat kesadaran akan kemampuan yang berbeda – beda dalam berkomunikasi antar budaya. Tingkat kesadaran dan kemampuan tersebut bisa diformulasikan dalam empat kemungkinan yaitu:
1.      Seseorang sadar  dan tidak mampu memahami budaya orang lain. Keadaan ini terjadi karena dia tahu diri bahwa dia tidak mampu memahami  perbedaan – perbedaan budaya yang dihadapi. Kesadaran ini dapat mendorong orang untuk melakukan eksperimen bagi komunikasi antar budaya yang efektif.
2.      Dia sadar bahwa dia mampu memahami budaya orang lain. Keadaan ini merupakan yang ideal, artinya kesadaran akan kemampuan itu dapat mendorong untuk memahami, melaksanakan, memelihara dan mengatasi komunikasi antar budaya.
3.      Dia tidak sadar  bahwa dia mampu memahami budaya orang lain. Keadaan ini dihadapi manakala orang tidak sadar bahwa dia sebenarnya mampu berbuat untuk memahami perilaku orang lain, dan mungkin orang lain menyadari perilaku komunikasi dia.
4.      Dia tidak sadar bahwa tidak mampu menghadapi perbedaan antar budaya, keadaan ini terjadi manakala seseorang sama sekali tidak menyadari bahwa sebenarnya dia tidak mampu menghadapi perilaku budaya orang lain


2.4 KONSEP – KONSEP EFEKTIVITAS KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA

Para pakar komunikasi antar budaya mengemukakan beberapa konsep tentang efektivitas komunikasi antar budaya, yaitu:
1.      Komunikasi antar budaya akan efektif kalau setiap orang yang terlibat dalam proses komunikasi mampu meletakkan dan memfungsikan komunikasi didalam suatu konteks kebudayaan tertentu.
2.      Efektivitas komunikasi antar budaya sangat ditentukan oleh sejauh mana manusia meminimalkan kesalah pahaman atas pesan-pesan yang dipertukarkan oleh komunikator dan komunikan antar budaya.
3.      Salah satu studi yang dilakukan oleh Hammer (1987) menetapkan tiga tea sentral efektivitas komunikasi yaitu:
a.         Keterampilan berkomunikasi.
b.        Kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan tekanan antar budaya.
c.         Kemampuan untuk membangun relasi – relasi antar budaya.
4.      Hawes dan Kealey (1981) menyebutkan tiga aspek yang dapat dijadikan sebagai faktor penentu efektivitas komunikasi antar budaya, yaitu:
a.       Interaksi antar budaya
b.      Efektivitas yang diciptakan oleh profesionalisme
c.       Kemampuan menyesuaikan diri sehingga dua pihak merasa puas dalam relasi antar budaya.



Pendapat diatas (efektivitas komunikasi antar budaya) apabila disederhanakan menyangkut hal-hal berikut:
1.      Kemampuan seseorang untuk menyampaikan semua maksud dan isi hatinya secara professional sesuai dengan kemampuan dan kompetensi yang dia tampilkan secara prima
2.      Kemampuan seseorang untuk berinteraksi secara baik, misalnya mampu mengalih bahasakan semua maksud isi hatinya secara tepat dan jelas.
3.      Kemampuan seseorang untuk menyesuaikan kebudayaan pribadinya dengan kebudayaan yang sedang dihadapinya meskipun dia harus berhadapan dengan berbagai tekanan dalam proses adaptasi tersebut.
4.      Kemampuan seseorang untuk memberikan fasilitas atau jaminan bahwa dia bisa menyesuaikan diri atau bisa mengelola berbagai tekanan budaya lain terhadap dirinya.

               Empat hal sebagaimana dikemukakan diatas harus menjadi pegangan dalam interaksi komunikasi antar budaya. Proses adaptasi antar budaya akan menjadi sulit apabila kita atau siapapun tidak mau terbuka akan kehadiran budaya orang lain.

2.5 BEBERAPA PANDANGAN DASAR DALAM MEWUJUDKAN EFEKTIVITAS KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA

Orang berkomunikasi dengan tujuan tertentu dan mengharapkan berjalan efektif. Harapan efektivitas ini bergantung kepada sejauh mana orang memahami konsep - konsep dasar efektivitas komunikasi antar budaya. Adapun konsep – konsep dasar tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Efektivitas komunikasi antar budaya sangat dibutuhkan dalam hubungan antar budaya.
2.      Efektivitas komunikasi antar budaya sangat ditentukan oleh dukungan iklim komunikasi yang efektif.
3.      Semua variabel penentu komunikasi antar budaya harus dapat diidentifikasi.
4.      Tanpa keterampilan berkomunikasi secara efektif maka setiap orang akan merasa diasingkan dalam hubungan antaar pribadi.























BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

ü  Ada banyak alasan pentingnya memahami identitas, melibatkan sisi pribadi dan psikologis. Identitas juga merupakan poin penting dalam komunikasi antar budaya yang sekarang ini menjadi sangat penting sebagai akibat dari gobalisasi dan keanekaragaman domestic.
ü  Identitas diperoleh melalui interaksi dengan anggota lain dalam suatu kelompok budaya. Keluarga memengaruhi pembentukan identitas awal. Model pembentukan identitas dibentuk oleh Phinney serta oleh Martin dan Nakayama.
ü  Identitas terbentuk melalui keanggotaan dalam suatu kelompok dan terjadi dalam banyak cara, termasuk upacara akil baligh, penampilan pribadi, dan keikutsertaan dalam perayaan. Konsep identitas dalam kelompok yang sama dapat berubah setiap waktu.
ü  Identitas berperan penting dalam dalam komunikasi antar budaya. Komunikasi antar budaya yang cakap dapat diperoleh ketika pelaku komunikasi menemukan kesamaan dalam identitas warisan maupun identitas pengakuan.
ü  Prasangka merupakan perasaan kuat atau prilaku terhadap sekelompok orang tertentu.

ü  Stereotip terjadi ketika seseorang mengelompokkan pengalaman mengenai kelompok orang tertentu dan menjadikannya sebagai pedoman dalam bertindak. Stereotip merujuk pada norma perilaku tentang sekelompok orang bukan seorang pribadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar