Laman

Senin, 12 Mei 2014

Teori Kultivasi dan Teori Kegunaan dan Gratifikasi


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Teori Kultivasi
Teori Kultivasi (Cultivation Theory) merupakan salah satu teori yang mencoba menjelaskan keterkaitan antara media komunikasi (dalam hal ini televisi) dengan tindak kekerasan. Teori ini dikemukakan oleh George Gerbner, mantan Dekan dari Fakultas (Sekolah Tinggi) Komunikasi Annenberg Universitas Pennsylvania,yang juga pendiri Cultural Environment Movement, berdasarkan penelitiannya terhadap perilaku penonton televisi yang dikaitkan dengan materi berbagai program televisi yang ada di Amerika Serikat.Artikel tersebut merupakan tulisan dalam buku berthema Mass Media and Violence yang disunting D. Lange, R. Baker dan S. Ball (eds).
Pada awalnya, Gerbner melakukan penelitian tentang “Indikator Budaya” dipertengahan tahun 60-an untuk mempelajari pengaruh menonton televisi. Gerbner ingin mengetahui dunia nyata seperti apa yang dibayangkan, dipersepsikan oleh penonton televisi itu? Itu juga bisa dikatakan bahwa penelitian kultivasi yang dilakukannya lebih menekankan pada “dampak”   Menurut Wood (2000) kata ‘cultivation’ sendiri menunjukkan suatu proses kumulatif dimana televisi menamkan suatu keyakinan tentang realitas sosial kepada khalayaknya. Teori kultivasi dalam bentuknya yang paling mendasar, percaya bahwa televisi bertanggung jawab dalam membentuk, atau mendoktrin konsepsi pemirsanya mengenai realitas sosial yang ada disekelilingnya.Pengaruh-pengaruh dari televisi yang berlangsung secara simultan, terus-menerus, secara tersamar telah membentuk persepsi individu/audiens dalam memahami realitas sosial. Lebih jauh lagi hal tersebut akan mempengaruhi budaya kita secara keseluruhan.
Teori Kultivasi pada dasarnya menyatakan bahwa para pecandu (penonton berat/heavy viewers) televisi membangun keyakinan yang berlebihan bahwa “dunia itu sangat menakutkan” .Hal tersebut disebabkan keyakinan mereka bahwa “apa yang mereka lihat di televisi” yang cenderung banyak menyajikan acara kekerasan adalah “apa yang mereka yakini terjadi juga dalam kehidupan sehari-hari”.
Dalam hal ini, seperti Marshall McLuhan, Gerbner menyatakan bahwa televisi merupakan suatu kekuatan yang secara dominan dapat mempengaruhi masyarakat modern. Kekuatan tersebut berasal dari kemampuan televisi melalui berbagai simbol untuk memberikan berbagai gambaran yang terlihat nyata dan penting seperti sebuah kehidupan sehari-hari.Televisi mampu mempengaruhi penontonnya, sehingga apa yang ditampilkan di layar kaca dipandang sebagai sebuah kehidupan yang nyata, kehidupan sehari-hari. Realitas yang tampil di media dipandang sebagai sebuah realitas objektif.
Saat ini, televisi merupakan salah satu bagian yang penting dalam sebuah rumah tangga, di mana setiap anggota keluarga mempunyai akses yang tidak terbatas terhadap televisi.Dalam hal ini, televisi mampu mempengaruhi lingkungan melalui penggunaan berbagai simbol, mampu menyampaikan lebih banyak kisah sepanjang waktu.Gebrner menyatakan bahwa masyarakat memperhatikan televisi sebagaimana mereka memperhatikan tempat ibadah (gereja). Lalu apa yang dilihat di televisi? Menurut Gerbner adalah kekerasan, karena ia merupakan cara yang paling sederhana dan paling murah untuk menunjukkan bagiamana seseorang berjuang untuk mempertahankan hidupnya. Televisi memberikan pelajaran berharga bagi para penontonnya tentang berbagai ‘kenyataan hidup’, yang cenderung dipenuhi berbagai tindakan kekerasan.
Lebih jauh dalam 

 
Teori Kultivasi dijelaskan bahwa bahwa pada dasarnya ada 2 (dua) tipe penonton televisi yang mempunyai karakteristik saling bertentangan/bertolak belakang, yaitu:
1)      para pecandu/penonton fanatik (heavy viewers) adalah mereka yang menonton televisi lebih dari 4(empat) jam setiap harinya. Kelompokpenontonini sering juga disebut sebagai kahalayak ‘the television type”.
2)      penonton biasa (light viewers), yaitu mereka yang menonton televisi 2 jam atau kurang dalam setiap harinya.
Dalam penelitian yang dilakukannya, Gerbner juga menyatakan bahwa cultivation differential dari media effect untuk dijadikan rujukan untuk membandingkan sikap penonton televisi. Dalam hal ini, ia membagi ada 4 sikap yang akan muncul berkaitan dengan keberadaan heavy viewers, yaitu:
1.      Mereka yang memilih melibatkan diri dengan kekerasan
Yaitu mereka yang pada akhirnya terlibat dan menjadi bagian dari berbagai peristiwa kekerasan
2.      Mereka yang ketakutan berjalan sendiri di malam hari
Yaitu merekayang percaya bahwa kehidupan nyata juga penuh dengan kekerasan, sehingga memunculkan ketakutan terhadap berbagai situasi yang memungkinkan terjadinya tindak kekerasan.Beberapa kajian menunjukkan bahwa untuk tipe ini lebih banyak perempuan daripada laki-laki.

3.      Mereka yang terlibat dalam pelaksanaan hukum
Yaitu mereka yang percaya bahwa masih cukup banyak orang yang tidak mau terlibat dalam tindakan kekerasan.
4.      Mereka yang sudah kehilangan kepercayaan
Yaitu mereka yang sudah apatis tidak percaya lagi dengan kemampuan hukum dan aparat yang ada dalam mengatasi berbagai tindakan kekerasan.


2.1  Asumsi/ Esensi Teori Kultivasi
Hipotesis umum dari analisis teori kultivasi adalah orang yang lebih lama ‘hidup’ dalam dunia televisi (heavy viewer) akan cenderung melihat dunia nyata seperti gambaran, nilai-nilai, potret, dan ideologi yang muncul pada layar televisi. (J. Bryant and D. Zillman (Eds), 2002). Hipotesis ini menjelaskan bahwa realitas sama dengan yang ada di televisi.
Dalam riset proyek indikator budaya (cultural indicator research project) terdapat lima asumsi yang dikaji Gerbner dan koleganya. 1), televisi secara esensial dan fundamental berbeda dari bentuk media massa lainnya. Televisi tidak menuntut membaca huruf seperti pada media surat kabar, majalah dan buku. Televisi bebas biaya, sekaligus menarik karena kombinasi gambar dan suara. 2). Media televisi menjadi the central cultural arm masyarakat Amerika, karena menjadi sumber sajian hiburan dan informasi. 3). Persepsi seseorang akibat televisi memunculkan sikap dan opini yang spesifik tentang fakta kehidupan. Karena kebanyakan stasiun televisi mempunyai target khalayak sama, dan bergantung pada bentuk pengulangan program acara dan cerita (drama). 4). Fungsi utama televisi adalah untuk medium sosialisasi dan enkulturasi melalui isi tayangannya (berita, drama, iklan) sehingga pemahaman akan televisi bisa menjadi sebuah pandangan ritual/berbagi pengalaman daripada hanya sebagai medium transmisi. 5). Observasi, pengukuran, dan kontribusi televisi kepada budaya relatif kecil, namun demikian dampaknya signifikan. Menurut teori kultivasi ini, televisi menjadi media atau alat utama dimana para pemirsa televisi itu belajar tentang masyarakat dan kultur lingkungannya. Dengan kata lain, persepsi apa yang terbangun di benak Anda tentang masyarakat dan budaya sangat ditentukan oleh televisi. Ini artinya, melalui kontak Anda dengan televisi, Anda belajar tentang dunia, orang- orangnya, nilai-nilainya serta adat kebiasannya.

Secara keilmuan untuk menunjukan bahwa televisi sebagai media yang mempengaruhi pandangan kita terhadap realitas sosial, para peneliti cultivation analysis bergantung kepada empat tahap proses:
1.    Message system analysis yang menganalisis isi program televisi.
2.    Formulation of question about viewers’ sosial realities yaitu pertanyaan yang berkaitan dengan seputar realitas sosial penonton televisi.
3.    Survey the audience yaitu menanyakan kepada mereka seputar apa yang mereka konsumsi dari media, dan.
4.    Membandingkan realitas sosial antara penonton berat dan orang yang jarang menonton televisi.

Keempat tahap ini dapat disederhanakan menjadi dua jenis analisis:
1.    Analisis isi (content analysis), yang mengidentifikasikan atau menentukan tema-tema utama yang disajikan oleh televisi.
2.    Analisis khalayak (audience research), yang mencoba melihat pengaruh tema-tema tersebut pada penonton.

            Langkah utama untuk menguji teori kultivasi dalam studi awal adalah menentukan kandung isi televisi melalui analisis isi.Gerbner dan kawan-kawan mulai memetakan kandungan isi pada prime time dan program televisi bagi anak-anak diakhir pekan (weekend).Di antara berbagai teori dampak media jangka panjang, cultivation analysis merupakan teori yang menonjol. Gerbner menyatakan bahwa televisi sebagai salah satu media modern, telah memperoleh tempat sedemikian rupa dan sedemikian penting dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, sehingga mendominasi “lingkungan simbolik” kita dengan cara menggantikan pesannya tentang realitas bagi pengalaman pribadi dan sarana mengetahui dunia lainnya. Teori kultivasi melihat media massa sebagai agenda sosialisasi, dan menemukan bahwa penonton televisi dapat mempercayai apa yang ditampilkan oleh televisi berdasarkan seberapa banyak mereka menontonnya. Berdasarkan banyaknnya waktu yang dihabiskan untuk menonton, maka penonton televisi dikelompokkan dalam dua kategori yakni light viewer (penonton ringan dalam arti menonton rata-rata dua jam perhari atau kurang dan hanya tayangan tertentu) dan heavy viewer (penonton berat), menonton rata-rata 4 jam perhari atau lebih dan tidak hanya tayangan tertentu (Infante, et.al, 2003).


Asumsi dasar teori ini adalah:
1.                  Televisi merupakan media yang unik. Asumsi pertama menyatakan bahwa televisi merupakan media yang unik. Keunikan tersebut ditandai oleh karakteristik televisi yang bersifat:
                                       i.                   Pervasive (menyebar dan hampir dimiliki seluruh keluarga);
                                     ii.                   Assesible (dapat diakses tanpa memerlukan kemampuan literasi atau keahlian lain), dan
                                   iii.                   Coherent (mempersentasikan pesan dengan dasar yang sama tentang masyarakat melintasi program dan waktu).
2.                  Semakin banyak seseorang menghabiskan waktu untuk menonton televisi, semakin kuat kecenderungan orang tersebut menyamakan realitas televisi dengan realitas sosial.
Jadi menurut asumsi ini, dunia nyata (real world) di sekitar penonton dipersamakan dengan dunia rekaan yang disajikan media tersebut (symbolic world).Dengan bahasa yang lebih sederhana dapat dikatakan bahwa penonton mempersepsi apapun yang disajikan televisi sebagai kenyataan sebenarnya.Namun teori ini tidak menggeneralisasi pengaruh tersebut berlaku untuk semua penonton, melainkan lebih cenderung pada penonton dalam kategori heavy viewer (penonton berat).Hasil pengamatan dan pengumpulan data yang dilakukan oleh Gerbner dan kawan-kawan bahkan kemudian menyatakan bahwa heavy viewer mempersepsi dunia ini sebagai tempat yang lebih kejam dan menakutkan (the mean and scray world) ketimbang kenyataan sebenarnya.Fenomena inilah yang kemudian dikenal sebagai “the mean world syndrome” (sindrom dunia kejam) yang merupakan sebentuk keyakinan bahwa dunia sebuah tempat yang berbahaya, sebuah tempat di mana sulit ditemukan orang yang dapat dipercaya, sebuah tempat di mana banyak orang di sekeliling kita yang dapat membahayakan diri kita sendiri.Untuk itu orang harus berhati-hati menjaga diri. Pembedaan dan pembandingan antara heavy dan light viewer di sini dipengaruhi pula oleh latar belakang demografis di antara mereka.
3.                  Penonton ringan (light viewers) cenderung menggunakan jenis media dan sumber informasi yang lebih bervariasi (baik komunikasi bermedia maupun sumber personal), semantara penonton berat (heavy viewers) cenderung mengandalkan televisi sebagai sumber informasi mereka. Asumsi ini menyatakan, kelompok penonton yang termasuk kategori berat, umumnya memiliki akses dan kepemilikan media yang lebih terbatas. Karena itu mereka mengandalkan televisi sebagai sumber informasi dan hiburan mereka. Karena keterpakuan pada satu media ini, membuat keragaman dan alternatif informasi yang mereka miliki menjadi terbatas. Itulah sebabnya kemudian mereka membentuk gambaran tentang dunia dalam pikirannya sebagaimana yang digambarkan televisi. Sebaliknya kelompk light viewers memiliki akses media yang lebih luas, sehingga sumber informasi mereka menjadi lebih variatif. Karena kenyataan ini, maka pengaruh televisi tidak cukup kuat pada diri mereka. Menurut teori ini, media massa khususnya televisi diyakini memiliki pengaruh yang besar atas sikap dan perilaku penontonnya (behavior effect). Pengaruh tersebut tidak muncul seketika melainkan bersifat kumulatif dan tidak langsung. Inilah yang membedakan teori ini dengan The Hypodermic Needle Theory, atau sering juga disebut The Magic Bullet Theory, Agenda Setting Theory, Spiral Of Silence Theory. Lebih lanjut dapat dikemukakan bahwa pengaruh yang muncul pada diri penonton merupakan tahap lanjut setelah media itu terlebih dahulu mengubah dan membentuk keyakinan-keyakinan tertentu pada diri mereka melalui berbabagai acara yang ditayangkan. Satu hal yang perlu dicermati adalah bahwa teori ini lebih cenderung berbicara pengaruh televisi pada tingkat komunitas atau masyarakat secara keseluruhan dan bukan pada tingkat individual. Secara implisit teori ini juga berpendapat bahwa pemirsa televisi bersifat heterogen dan terdiri dari individu-individu yang pasif yang tidak berinteraksi satu sama lain. Namun mereka memiliki pandangan yang sama terhadap realitas yang diciptakan media tersebut.
4.                  Terpaan pesan televisi yang terus menerus menyebabkan pesan tersebut diterima khalayak sebagai pandangan konsensus masyarakat. Asumsi keempat toeri ini menyatakan bahwa terpaan televisi yang intens dengan frekuensi yang kerap dan terus menerus membuat apa yang ada dalam pikiran penonton televisi sebangun dengan apa yang disajikan televisi. Karena alasan ini kemudian mereka menganggap bahwa apapun yang muncul di televisi sebagai gambaran kehidupan sebenarnya, gambaran kehidupan yang disepakati secara konsensual masyarakat. Dalam konteks ini berarti, bila penonton melihat orang sumpah pocong di televisi, atau melihat adegan ciuman di antara dua orang yang masih pacaran dalam sebuah sinetron maka penonton tersebut menganggap hal itu sesuatu hal yang lumrah saja yang menganggap kehidupan nyata di lingkungannya.
5.                  Televisi membentuk mainstreaming dan resonance. Asumsi kelima ini menegaskan bahwa televisi membentuk mainstreaming dan resonace. Gerbner dan kawan-kawan memperkenalkan faktor-faktor mainstreaming dan resonance (Gerbner, Gross, Morgan dan Signorielli, 1980 dalam Griffin, 2004). Mainstreaming diartikan sebagai kemampuan memantapkan dan menyeragamkan berbagai pandangan di masyarakat tentang dunia di sekitar mereka (Tv stabilize and homogenize views within a society). Dalam proses ini televisi pertama kali akan mengaburkan (bluring), kemudian membaurkan (blending) dan melenturkan (bending) perbedaan realitas yang beragam menjadi pandangan mainstream tersebut. Sedangkan resonance mengimplikasikan pengaruh pesan media dalam persepsi realita dikuatkan ketika apa yang dilihat orang di televisi adalah apa yang mereka lihat dalam kehidupan nyata.
6.                  Perkembangan teknologi baru memperkuat pengaruh televisi. Asumsi terakhir menyatakan bahwa perkembangan teknologi baru memperkuat pengaruh televisi. Asumsi ini diajukan Gerbner pada tahun 1990 setelah menyaksikan perkembangan teknologi komunikasi yang luar biasa. Asumsi ini mengandung keyakinan bahwa teknologi pendukung tidak akan mengurangi dampak televisi sebagai sebuah media, malahan pada kanyataannya akan meneguhkan dan memperkuat. Bukti utama asumsi cultivation analysis berasal dari analisis isi pesan televisi Amerika secara sistematis. Analisis itu dilakukan selama beberapa tahun dan menunjukan distorsi realitas yang konsisten dalam hubungannya dengan keluarga, pekerjaan dan peran, usia lanjut, mati dan kematian, pendidikan, kekerasan dan kejahatan. Isu ini memberikan pelajaran tentang hal-hal yang diharapkan dari kehidupan bukanlah pesan yang membesarkan hati, khususnya bagi si miskin, kaum wanita dan minoritas rasial (Mc Quail, 1987: 254). Jadi, meskipun televisi bukanlah satu-satunya sarana yang membentuk pandangan kita tentang dunia, televisi merupakan salah satu media yang paling ampuh, terutama bila kontak dengan televisi yang sangat sering dan berlangsung dalam waktu lama (Ardianto dkk, 2004: 65).






2.2   Konsep Teori Kultivasi
            Televisi mempunyai kemampuan untuk menggambarkan apa yang terjadi, apa yang penting dalam berbagai kejadian, dan menjelaskan hubungan-hubungan serta makna yang ada di antara kejadian-kejadian itu. Dengan cara itu, televisi -begitu pula media massa lainnya- membentuk lingkungan simbolis. Televisi berfungsi menanamkan ideologi.Usaha untuk menganalisa akibat-akibat penanaman ideologi oleh televisi inilah yang disebut dengan cultivation analysis. Misalnya, diduga bahwa makin sering seseorang menonton televisi, makin mirip persepsinya tentang realitas sosial dengan apa yang disajikan dalam televisi.
Gerbner mengemukakan konsep mainstreaming dan resonance.Mainstreaming artinya mengikuti arus. Mainstreaming dimaksudkan sebagai kesamaan di antara penonton berat (heavy viewers) pada berbagai kelompok demografis, dan perbedaan dari kesamaan itu pada penonton ringan (light viewers). Bila televisi sering kali menyajikan adegan kekerasan, maka penonton berat akan melihat dunia ini dipenuhi kekerasan. Sementara itu, penonton ringan akan melihat dunia tidak sesuram seperti yang dipersepsikan penonton berat.
            Bila yang disajikan televisi itu ternyata juga cocok dengan apa yang disaksikan pemirsanya di lingkungannya, daya penanaman ideologi dari televisi ini makin kuat. Ini disebut Gerbner sebagai resonance. Penonton televisi yang tinggal di daerah yang penuh kejahatan akan makin yakin bahwa dunia yang disajikan televisi adalah dunia yang sebenarnya. Pembahasan mengenai mainstreaming dan resonance akan dibahas lebih lanjut pada penjelasan teori kultivasi.
            Menurut teori kultivasi, media, khususnya televisi, merupakan sarana utama kita untuk belajar tentang masyarakat dan kultur kita. Melalui kontak kita dengan televisi (dan media lain), kita belajar tentang dunia, orang-orangnya, nilai-nilainya serta adat kebiasaanya


2.3  Aplikasi Teori
Teori kultivasi sering digunakan untuk menganalisis berbagai bentuk praktik komunikasi, terutama komunikasi massa khususnya televisi apa yang kita kenal cultivation analysis. Para penonton berat akan cenderung melihat dunia nyata seperti apa yang digambarkan di televisi. Semakin sering kita menonton suatu program televisi, kita akan semakin terpengaruh oleh program itu. Jika kita menonton acara seperti Buser, Patroli atau Sergap di televisi swasta Indonesia akan terlihat beberapa perilaku kejahatan yang dilakukan masyarakat. Dalam acara itu diketengahkan tidak sedikit kejahatan yang bisa diungkap.

Dalam pandangan kultivasi dikatakan bahwa adegan yang tersaji dalam setiap acara menggambarkan dunia kita sebenarnya.Bahwa di Indonesia kejahatan itu sudah sedemikian mewabah dan kuantitasnya semakin meningkat.Acara itu seolah menggambarkan dunia kejahatan seperti itulah yang sebenarnya ada di Indonesia. Contoh lain, semakin sering kita menonton suatu sinetron, kita akan semakin beranggapan bahwa sinetron itu adalah suatu realitas. Jika kita sering melihat tokoh ibu tiri yang kejam di sinetron, maka di dunia nyata kita akan beranggapan bahwa ibu tiri itu kejam dan kita akan benci jika ayah kita menikah lagi. Hawkins dan Pingree menemukan model proses kultivasi, yaitu bahwa proses kultivasi dalam pikiran kita terbagi dua, yaitu learning dan constructing. Apa yang dilihat oleh audiens kemudian akan melalui tahap belajar dan diikuti tahap mengkonstruksi dalam pikiran audiens tersebut.

B.   Teori Kegunaan dan Gratifikasi (Theory Uses and Gratifications)
Salah satu teori yang muncul dalam kajian komunikasi adalah teori Uses and Gratifications. Teori ini membahas tentang penggunaan media massa oleh khalayak aktif. Dengan kata lain, penggunaan media oleh khalayak diasumsikan sebagai sebuah perilaku aktif dimana khalayak dengan sadar memilih dan mengkonsumsi media tertentu. McLeod dan Backer (dalam Baran dan Davis, 2000) menyebutkan bahwa seseorang berdasarkan ketertarikan masing-masing akan memilih media mana yang akan dikonsumsinya dan mendapatkan timbal balik berupa pemenuhan kebutuhan yang diinginkannya.Teori ini mempertimbangkan apa yang dilakukan orang pada media, yaitu menggunakan media untuk pemuas kebutuhanya. Penganut teori ini meyakini bahwa individu sebagai mahluk supra rasional dan sangat selektif.
Menurut para pendirinya Elihu Katz; Jay G. Blumler; dan Michael gurevitch (dalam Jalaludin Rakmat,1984), uses and gratificatins meneliti asal asal mula kebutuhan secara psikologis dan sosial yang menimbulkan harapan tertentu dari media massa atau sumber-sumber lain, yang membawa pada pola terpaan media yang berlainan (atau keterlibatan pada kegiatan lain), dan menimbulkan pemenuhan kebutuhan dan akibat-akibat lain.
Elemen dasar yang mendasari pendekatan teori ini (Karl dalam Bungin, 2007):
a)    Kebutuhan dasar tertentu, dalam interaksinya dengan
b)   berbagai kombinasi antara intra dan ekstra individu, dan juga dengan
c)    struktur masyarakat, termasuk struktur media, menghasilkan
d)   berbagai percampuran personal individu,
e)    persepsi mengenai solusi bagi persoalan tersebut, yang menghasilkan
f)    berbagai motif untuk mencari pemenuhan atau penyelesaian persoalan, yang menghasikan
g)   perbedaan pola konsumsi media dan ( perbedaan pola perilaku lainnya, yang menyebabkan
h)   perbedaan pola konsumsi, yang dapat memengaruhi
i)     kombinasi karakteristik intra dan ekstra individu, sekaligus akan memengaruhi pula
j)     struktur media dan berbagai struktur politik, kultural, dan ekonomi dalam masyarakat.

2.1 Asumsi Teori Uses and Gratification
            Teori kegunaan dan gratifikasi memberikan sebuah kerangka untuk memahami kapan dan bagaimana konsumen media individu menjadi lebih atau kurang aktif dan konsekuensi dari keterlibatan yang meningkat atau menurun.Banyak asumsi teori ini secara jelas dinyatakan oleh Katz, Blumler dan Gurevitch (1974) sebagai para pencetusnya. Mereka menyatakan terdapat lima asumsi dasar teori kegunaan dan gratifikasi (uses and gratification theory) :
1.    Khalayak merupakan sekelompok konsumen aktif yang secara sadar menggunakan media sehubungan dengan pemenuhan kebutuhan personal maupun kebutuhan sosial yang diubah menjadi motif-motif tertentu.
2.    Pemilihan media dan isinya merupakan sebuah tindakan yang beralasan serta memiliki tujuan dan kepuasan tertentu sesuai dengan inisiatif khalayak.
3.    Orang mempunyai cukup kesadaran diri akan penggunaan media, minat dan motif sehingga dapat memberikan sebuah gambaran yang akurat mengenai kegunaan tersebut kepada para peneliti
4.    Media massa bersaing dengan sumber-sumber lain untuk dapat memenuhi kebutuhan audiens.
5.    Penilaian mengenai isi media hanya  dapat dinilai oleh khalayak

Asumsi teori ini menjelaskan bahwa khalayak aktif dan penggunaan media berorientasi pada tujuan yang cukup jelas.Anggota khalayak dapat membawa tingkat aktivitas yang berbeda untuk penggunaan media. Denis McQuail mengidentifikasika cara mengklasifikasikan kebutuhan dan pemuasan khalayak ini. Klasifikasi ini  mencakup pengalihan—keluar dari rutinitas sehari-hari, hubungan personal—yang terjadi ketika orang menggunakan media sebagai pengganti teman, identitas personal—cara untuk menekankan nilai-nilai individu, dan pengawasan—informasi mengenai bagaimana media akan membantu individu mencapai sesuatu. Jay G.Bluler menawarkan beberapa saran jenis aktivitas khalayak yang dapat dilakukan oleh konsumen media.Termasuk di dalamnya kegunaan, kesengajaan, selektivitas dan kesulitan untuk memengaruhi.
Teori ini juga membedakan Antara aktivitas dan keaktifan untuk memahami dengan lebih baik tingkatan dari aktivitas khalayak, walaupun istilah ini sering berhubungan. Aktivitas merujuk kepada apa yan dilakukan oleh konsumen media(misalnya lebih memilih media online dalam membaca berita, dibandingkan dengan surat kabar). Sedangkan keaktivan lebih dekat dengan apa yang benar-benar menarik minat peneliti uses and gratification.

2.2 Aplikasi Teori
Teori Uses and Gratification ini bertujuan untuk menjelaskan tentang informasi yang ada di dalam media terutama media massa. Dalam teori ini audiens tidak lagi dipandang sebagai orang pasif yang hanya menerima informasi yang disampaikan oleh media, tapi audiens berlaku aktif dan selektif, dan juga kritis terhadap semua informasi yang disampaikan oleh media.
Teori ini dapat kita lihat, contohnya dari sinetron-sinetron televisi yang banyak ditayangkan televisi swasta di Indonesia, sinetron-sinetron ini umumnya banyak disukai oleh para kaum hawa, khususnya ibu rumah tangga. Hal ini merupakan suatu fenomena yang dapat kita nilai dengan teori Uses and Gratification, dari fenomena ini bisa dilihat bahwa para ibu rumah tangga menilai positif akan tayangan sinetron tersebut. Padahal jika kita menilik alur ceritanya, banyak peristiwa budayan yang sama sekali tidak rasional dan sangat bertentangan dengan pola budaya di Indonesia.Dilihat dari aspek rasionalitas ceritanya juga banyak yang aneh atau ganjil. Dramatisasinya juga sangat bertele-tele, namun demikian cerita sinetron tersebut masih tetap disukai oleh para ibu rumah tangga. Contoh di atas membuktikan bahwa audiens berlaku aktif dalam memilih tayangan yang disampaikan oleh media massa.

Kelebihan dan Kekurangan Uses and Gratification Theory
- Kelebihan dari teori Uses and gratification adalah :
a.       Mengubah audiens yang cenderung pasif menjadi audiens yang lebih aktif dan selektif.
b.      Untuk mengontrol penggunaan media dalam kehidupan kita.
c.       Untuk memenuhi kebutuhan–kebutuhan dan pencapaian tujuan dari fungsi media itu sendiri.
- Kekurangan dari teori Uses and Gratification adalah :
a.       Seseorang menjadi ketergantungan terhadap suatu media sehingga tidak dapat berkembang
b.      Audiens akan memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka dengan media dengan berbagai cara, meskipun itu merugikan dirinya sendiri
c.       Media sering kali menciptakan kebingungan dan ketika hal yang membingungkan itu hadir, ketergantungan kepada media akan meningkat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar