BAB II
PEMBAHASAN
A. Teori Kultivasi
Teori Kultivasi (Cultivation Theory) merupakan salah
satu teori yang mencoba menjelaskan keterkaitan antara media komunikasi (dalam
hal ini televisi) dengan tindak kekerasan. Teori ini dikemukakan oleh George
Gerbner, mantan Dekan dari Fakultas (Sekolah Tinggi) Komunikasi Annenberg
Universitas Pennsylvania,yang juga pendiri Cultural Environment Movement,
berdasarkan penelitiannya terhadap perilaku penonton televisi yang dikaitkan
dengan materi berbagai program televisi yang ada di Amerika Serikat.Artikel
tersebut merupakan tulisan dalam buku berthema Mass Media and Violence yang
disunting D. Lange, R. Baker dan S. Ball (eds).
Pada awalnya, Gerbner melakukan penelitian tentang
“Indikator Budaya” dipertengahan tahun 60-an untuk mempelajari pengaruh
menonton televisi. Gerbner ingin mengetahui dunia nyata seperti apa yang
dibayangkan, dipersepsikan oleh penonton televisi itu? Itu juga bisa dikatakan
bahwa penelitian kultivasi yang dilakukannya lebih menekankan pada
“dampak” Menurut Wood (2000) kata
‘cultivation’ sendiri menunjukkan suatu proses kumulatif dimana televisi
menamkan suatu keyakinan tentang realitas sosial kepada khalayaknya. Teori
kultivasi dalam bentuknya yang paling mendasar, percaya bahwa televisi
bertanggung jawab dalam membentuk, atau mendoktrin konsepsi pemirsanya mengenai
realitas sosial yang ada disekelilingnya.Pengaruh-pengaruh dari televisi yang berlangsung
secara simultan, terus-menerus, secara tersamar telah membentuk persepsi
individu/audiens dalam memahami realitas sosial. Lebih jauh lagi hal tersebut
akan mempengaruhi budaya kita secara keseluruhan.
Teori Kultivasi pada dasarnya menyatakan bahwa para
pecandu (penonton berat/heavy viewers) televisi membangun keyakinan yang
berlebihan bahwa “dunia itu sangat menakutkan” .Hal tersebut disebabkan
keyakinan mereka bahwa “apa yang mereka lihat di televisi” yang cenderung
banyak menyajikan acara kekerasan adalah “apa yang mereka yakini terjadi juga
dalam kehidupan sehari-hari”.
Dalam hal ini, seperti Marshall McLuhan, Gerbner
menyatakan bahwa televisi merupakan suatu kekuatan yang secara dominan dapat
mempengaruhi masyarakat modern. Kekuatan tersebut berasal dari kemampuan
televisi melalui berbagai simbol untuk memberikan berbagai gambaran yang
terlihat nyata dan penting seperti sebuah kehidupan sehari-hari.Televisi mampu
mempengaruhi penontonnya, sehingga apa yang ditampilkan di layar kaca dipandang
sebagai sebuah kehidupan yang nyata, kehidupan sehari-hari. Realitas yang
tampil di media dipandang sebagai sebuah realitas objektif.
Saat ini, televisi merupakan salah satu bagian yang
penting dalam sebuah rumah tangga, di mana setiap anggota keluarga mempunyai
akses yang tidak terbatas terhadap televisi.Dalam hal ini, televisi mampu
mempengaruhi lingkungan melalui penggunaan berbagai simbol, mampu menyampaikan
lebih banyak kisah sepanjang waktu.Gebrner menyatakan bahwa masyarakat
memperhatikan televisi sebagaimana mereka memperhatikan tempat ibadah (gereja).
Lalu apa yang dilihat di televisi? Menurut Gerbner adalah kekerasan, karena ia
merupakan cara yang paling sederhana dan paling murah untuk menunjukkan
bagiamana seseorang berjuang untuk mempertahankan hidupnya. Televisi memberikan
pelajaran berharga bagi para penontonnya tentang berbagai ‘kenyataan hidup’,
yang cenderung dipenuhi berbagai tindakan kekerasan.
Teori Kultivasi dijelaskan bahwa bahwa pada dasarnya
ada 2 (dua) tipe penonton televisi yang mempunyai karakteristik saling
bertentangan/bertolak belakang, yaitu:
1) para
pecandu/penonton fanatik (heavy viewers) adalah mereka yang menonton televisi
lebih dari 4(empat) jam setiap harinya. Kelompokpenontonini sering juga disebut
sebagai kahalayak ‘the television type”.
2) penonton biasa
(light viewers), yaitu mereka yang menonton televisi 2 jam atau kurang dalam
setiap harinya.
Dalam penelitian yang dilakukannya, Gerbner juga menyatakan bahwa
cultivation differential dari media effect untuk dijadikan rujukan untuk
membandingkan sikap penonton televisi. Dalam hal ini, ia membagi ada 4 sikap
yang akan muncul berkaitan dengan keberadaan heavy viewers, yaitu:
1. Mereka yang
memilih melibatkan diri dengan kekerasan
Yaitu mereka yang pada akhirnya terlibat dan menjadi
bagian dari berbagai peristiwa kekerasan
2. Mereka yang
ketakutan berjalan sendiri di malam hari
Yaitu merekayang percaya bahwa kehidupan nyata juga
penuh dengan kekerasan, sehingga memunculkan ketakutan terhadap berbagai
situasi yang memungkinkan terjadinya tindak kekerasan.Beberapa kajian
menunjukkan bahwa untuk tipe ini lebih banyak perempuan daripada laki-laki.
3. Mereka yang
terlibat dalam pelaksanaan hukum
Yaitu mereka yang percaya bahwa masih cukup banyak
orang yang tidak mau terlibat dalam tindakan kekerasan.
4. Mereka yang
sudah kehilangan kepercayaan
Yaitu mereka yang sudah apatis tidak percaya lagi
dengan kemampuan hukum dan aparat yang ada dalam mengatasi berbagai tindakan
kekerasan.
2.1 Asumsi/ Esensi Teori Kultivasi
Hipotesis umum dari analisis teori kultivasi adalah
orang yang lebih lama ‘hidup’ dalam dunia televisi (heavy viewer) akan
cenderung melihat dunia nyata seperti gambaran, nilai-nilai, potret, dan
ideologi yang muncul pada layar televisi. (J. Bryant and D. Zillman (Eds),
2002). Hipotesis ini menjelaskan bahwa realitas sama dengan yang ada di
televisi.
Dalam riset proyek indikator budaya (cultural
indicator research project) terdapat lima asumsi yang dikaji Gerbner dan
koleganya. 1), televisi secara esensial dan fundamental berbeda dari bentuk
media massa lainnya. Televisi tidak menuntut membaca huruf seperti pada media
surat kabar, majalah dan buku. Televisi bebas biaya, sekaligus menarik karena
kombinasi gambar dan suara. 2). Media televisi menjadi the central cultural arm
masyarakat Amerika, karena menjadi sumber sajian hiburan dan informasi. 3).
Persepsi seseorang akibat televisi memunculkan sikap dan opini yang spesifik
tentang fakta kehidupan. Karena kebanyakan stasiun televisi mempunyai target
khalayak sama, dan bergantung pada bentuk pengulangan program acara dan cerita
(drama). 4). Fungsi utama televisi adalah untuk medium sosialisasi dan
enkulturasi melalui isi tayangannya (berita, drama, iklan) sehingga pemahaman
akan televisi bisa menjadi sebuah pandangan ritual/berbagi pengalaman daripada
hanya sebagai medium transmisi. 5). Observasi, pengukuran, dan kontribusi
televisi kepada budaya relatif kecil, namun demikian dampaknya signifikan.
Menurut teori kultivasi ini, televisi menjadi media atau alat utama dimana para
pemirsa televisi itu belajar tentang masyarakat dan kultur lingkungannya.
Dengan kata lain, persepsi apa yang terbangun di benak Anda tentang masyarakat
dan budaya sangat ditentukan oleh televisi. Ini artinya, melalui kontak Anda
dengan televisi, Anda belajar tentang dunia, orang- orangnya, nilai-nilainya
serta adat kebiasannya.
Secara keilmuan untuk menunjukan bahwa televisi
sebagai media yang mempengaruhi pandangan kita terhadap realitas sosial, para
peneliti cultivation analysis bergantung kepada empat tahap proses:
1. Message system
analysis yang menganalisis isi program televisi.
2. Formulation of
question about viewers’ sosial realities yaitu pertanyaan yang berkaitan dengan
seputar realitas sosial penonton televisi.
3. Survey the
audience yaitu menanyakan kepada mereka seputar apa yang mereka konsumsi dari
media, dan.
4. Membandingkan
realitas sosial antara penonton berat dan orang yang jarang menonton televisi.
Keempat tahap ini dapat disederhanakan menjadi dua jenis analisis:
1. Analisis isi
(content analysis), yang mengidentifikasikan atau menentukan tema-tema utama
yang disajikan oleh televisi.
2. Analisis
khalayak (audience research), yang mencoba melihat pengaruh tema-tema tersebut
pada penonton.
Langkah utama untuk
menguji teori kultivasi dalam studi awal adalah menentukan kandung isi televisi
melalui analisis isi.Gerbner dan kawan-kawan mulai memetakan kandungan isi pada
prime time dan program televisi bagi anak-anak diakhir pekan (weekend).Di
antara berbagai teori dampak media jangka panjang, cultivation analysis
merupakan teori yang menonjol. Gerbner menyatakan bahwa televisi sebagai salah
satu media modern, telah memperoleh tempat sedemikian rupa dan sedemikian
penting dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, sehingga mendominasi
“lingkungan simbolik” kita dengan cara menggantikan pesannya tentang realitas
bagi pengalaman pribadi dan sarana mengetahui dunia lainnya. Teori kultivasi
melihat media massa sebagai agenda sosialisasi, dan menemukan bahwa penonton
televisi dapat mempercayai apa yang ditampilkan oleh televisi berdasarkan
seberapa banyak mereka menontonnya. Berdasarkan banyaknnya waktu yang
dihabiskan untuk menonton, maka penonton televisi dikelompokkan dalam dua
kategori yakni light viewer (penonton ringan dalam arti menonton rata-rata dua
jam perhari atau kurang dan hanya tayangan tertentu) dan heavy viewer (penonton
berat), menonton rata-rata 4 jam perhari atau lebih dan tidak hanya tayangan
tertentu (Infante, et.al, 2003).
Asumsi dasar teori ini adalah:
1.
Televisi merupakan media yang unik. Asumsi pertama
menyatakan bahwa televisi merupakan media yang unik. Keunikan tersebut ditandai
oleh karakteristik televisi yang bersifat:
i.
Pervasive (menyebar dan hampir dimiliki seluruh
keluarga);
ii.
Assesible (dapat diakses tanpa memerlukan kemampuan
literasi atau keahlian lain), dan
iii.
Coherent (mempersentasikan pesan dengan dasar yang
sama tentang masyarakat melintasi program dan waktu).
2.
Semakin banyak seseorang menghabiskan waktu untuk
menonton televisi, semakin kuat kecenderungan orang tersebut menyamakan
realitas televisi dengan realitas sosial.
Jadi menurut asumsi ini, dunia nyata (real world) di
sekitar penonton dipersamakan dengan dunia rekaan yang disajikan media tersebut
(symbolic world).Dengan bahasa yang lebih sederhana dapat dikatakan bahwa penonton
mempersepsi apapun yang disajikan televisi sebagai kenyataan sebenarnya.Namun
teori ini tidak menggeneralisasi pengaruh tersebut berlaku untuk semua
penonton, melainkan lebih cenderung pada penonton dalam kategori heavy viewer
(penonton berat).Hasil pengamatan dan pengumpulan data yang dilakukan oleh
Gerbner dan kawan-kawan bahkan kemudian menyatakan bahwa heavy viewer
mempersepsi dunia ini sebagai tempat yang lebih kejam dan menakutkan (the mean
and scray world) ketimbang kenyataan sebenarnya.Fenomena inilah yang kemudian
dikenal sebagai “the mean world syndrome” (sindrom dunia kejam) yang merupakan
sebentuk keyakinan bahwa dunia sebuah tempat yang berbahaya, sebuah tempat di
mana sulit ditemukan orang yang dapat dipercaya, sebuah tempat di mana banyak orang
di sekeliling kita yang dapat membahayakan diri kita sendiri.Untuk itu orang
harus berhati-hati menjaga diri. Pembedaan dan pembandingan antara heavy dan
light viewer di sini dipengaruhi pula oleh latar belakang demografis di antara
mereka.
3.
Penonton ringan (light viewers) cenderung menggunakan
jenis media dan sumber informasi yang lebih bervariasi (baik komunikasi
bermedia maupun sumber personal), semantara penonton berat (heavy viewers)
cenderung mengandalkan televisi sebagai sumber informasi mereka. Asumsi ini
menyatakan, kelompok penonton yang termasuk kategori berat, umumnya memiliki
akses dan kepemilikan media yang lebih terbatas. Karena itu mereka mengandalkan
televisi sebagai sumber informasi dan hiburan mereka. Karena keterpakuan pada
satu media ini, membuat keragaman dan alternatif informasi yang mereka miliki
menjadi terbatas. Itulah sebabnya kemudian mereka membentuk gambaran tentang
dunia dalam pikirannya sebagaimana yang digambarkan televisi. Sebaliknya
kelompk light viewers memiliki akses media yang lebih luas, sehingga sumber
informasi mereka menjadi lebih variatif. Karena kenyataan ini, maka pengaruh
televisi tidak cukup kuat pada diri mereka. Menurut teori ini, media massa
khususnya televisi diyakini memiliki pengaruh yang besar atas sikap dan
perilaku penontonnya (behavior effect). Pengaruh tersebut tidak muncul seketika
melainkan bersifat kumulatif dan tidak langsung. Inilah yang membedakan teori
ini dengan The Hypodermic Needle Theory, atau sering juga disebut The Magic
Bullet Theory, Agenda Setting Theory, Spiral Of Silence Theory. Lebih lanjut
dapat dikemukakan bahwa pengaruh yang muncul pada diri penonton merupakan tahap
lanjut setelah media itu terlebih dahulu mengubah dan membentuk
keyakinan-keyakinan tertentu pada diri mereka melalui berbabagai acara yang
ditayangkan. Satu hal yang perlu dicermati adalah bahwa teori ini lebih
cenderung berbicara pengaruh televisi pada tingkat komunitas atau masyarakat
secara keseluruhan dan bukan pada tingkat individual. Secara implisit teori ini
juga berpendapat bahwa pemirsa televisi bersifat heterogen dan terdiri dari
individu-individu yang pasif yang tidak berinteraksi satu sama lain. Namun
mereka memiliki pandangan yang sama terhadap realitas yang diciptakan media
tersebut.
4.
Terpaan pesan televisi yang terus menerus menyebabkan
pesan tersebut diterima khalayak sebagai pandangan konsensus masyarakat. Asumsi
keempat toeri ini menyatakan bahwa terpaan televisi yang intens dengan
frekuensi yang kerap dan terus menerus membuat apa yang ada dalam pikiran
penonton televisi sebangun dengan apa yang disajikan televisi. Karena alasan
ini kemudian mereka menganggap bahwa apapun yang muncul di televisi sebagai
gambaran kehidupan sebenarnya, gambaran kehidupan yang disepakati secara
konsensual masyarakat. Dalam konteks ini berarti, bila penonton melihat orang
sumpah pocong di televisi, atau melihat adegan ciuman di antara dua orang yang
masih pacaran dalam sebuah sinetron maka penonton tersebut menganggap hal itu
sesuatu hal yang lumrah saja yang menganggap kehidupan nyata di lingkungannya.
5.
Televisi membentuk mainstreaming dan resonance. Asumsi
kelima ini menegaskan bahwa televisi membentuk mainstreaming dan resonace.
Gerbner dan kawan-kawan memperkenalkan faktor-faktor mainstreaming dan
resonance (Gerbner, Gross, Morgan dan Signorielli, 1980 dalam Griffin, 2004).
Mainstreaming diartikan sebagai kemampuan memantapkan dan menyeragamkan
berbagai pandangan di masyarakat tentang dunia di sekitar mereka (Tv stabilize
and homogenize views within a society). Dalam proses ini televisi pertama kali
akan mengaburkan (bluring), kemudian membaurkan (blending) dan melenturkan
(bending) perbedaan realitas yang beragam menjadi pandangan mainstream
tersebut. Sedangkan resonance mengimplikasikan pengaruh pesan media dalam persepsi
realita dikuatkan ketika apa yang dilihat orang di televisi adalah apa yang
mereka lihat dalam kehidupan nyata.
6.
Perkembangan teknologi baru memperkuat pengaruh
televisi. Asumsi terakhir menyatakan bahwa perkembangan teknologi baru
memperkuat pengaruh televisi. Asumsi ini diajukan Gerbner pada tahun 1990
setelah menyaksikan perkembangan teknologi komunikasi yang luar biasa. Asumsi
ini mengandung keyakinan bahwa teknologi pendukung tidak akan mengurangi dampak
televisi sebagai sebuah media, malahan pada kanyataannya akan meneguhkan dan
memperkuat. Bukti utama asumsi cultivation analysis berasal dari analisis isi
pesan televisi Amerika secara sistematis. Analisis itu dilakukan selama
beberapa tahun dan menunjukan distorsi realitas yang konsisten dalam hubungannya
dengan keluarga, pekerjaan dan peran, usia lanjut, mati dan kematian,
pendidikan, kekerasan dan kejahatan. Isu ini memberikan pelajaran tentang
hal-hal yang diharapkan dari kehidupan bukanlah pesan yang membesarkan hati,
khususnya bagi si miskin, kaum wanita dan minoritas rasial (Mc Quail, 1987:
254). Jadi, meskipun televisi bukanlah satu-satunya sarana yang membentuk
pandangan kita tentang dunia, televisi merupakan salah satu media yang paling
ampuh, terutama bila kontak dengan televisi yang sangat sering dan berlangsung
dalam waktu lama (Ardianto dkk, 2004: 65).
2.2 Konsep
Teori Kultivasi
Televisi mempunyai kemampuan untuk menggambarkan apa yang
terjadi, apa yang penting dalam berbagai kejadian, dan menjelaskan
hubungan-hubungan serta makna yang ada di antara kejadian-kejadian itu. Dengan cara itu,
televisi -begitu pula media massa lainnya- membentuk lingkungan simbolis.
Televisi berfungsi menanamkan ideologi.Usaha untuk menganalisa akibat-akibat
penanaman ideologi oleh televisi inilah yang disebut dengan cultivation
analysis. Misalnya, diduga bahwa makin sering seseorang menonton televisi, makin
mirip persepsinya tentang realitas sosial dengan apa yang disajikan dalam
televisi.
Gerbner mengemukakan konsep mainstreaming dan
resonance.Mainstreaming artinya mengikuti arus. Mainstreaming dimaksudkan
sebagai kesamaan di antara penonton berat (heavy viewers) pada berbagai
kelompok demografis, dan perbedaan dari kesamaan itu pada penonton ringan
(light viewers). Bila televisi sering kali menyajikan adegan kekerasan, maka
penonton berat akan melihat dunia ini dipenuhi kekerasan. Sementara itu, penonton
ringan akan melihat dunia tidak sesuram seperti yang dipersepsikan penonton
berat.
Bila yang disajikan
televisi itu ternyata juga cocok dengan apa yang disaksikan pemirsanya di
lingkungannya, daya penanaman ideologi dari televisi ini makin kuat. Ini disebut
Gerbner sebagai resonance. Penonton televisi yang tinggal di daerah yang penuh
kejahatan akan makin yakin bahwa dunia yang disajikan televisi adalah dunia
yang sebenarnya. Pembahasan mengenai mainstreaming dan resonance akan dibahas
lebih lanjut pada penjelasan teori kultivasi.
Menurut teori
kultivasi, media, khususnya televisi, merupakan sarana utama kita untuk belajar
tentang masyarakat dan kultur kita. Melalui kontak kita dengan televisi (dan
media lain), kita belajar tentang dunia, orang-orangnya, nilai-nilainya serta
adat kebiasaanya
2.3 Aplikasi Teori
Teori kultivasi sering digunakan untuk menganalisis
berbagai bentuk praktik komunikasi, terutama komunikasi massa khususnya
televisi apa yang kita kenal cultivation analysis. Para penonton berat akan
cenderung melihat dunia nyata seperti apa yang digambarkan di televisi. Semakin
sering kita menonton suatu program televisi, kita akan semakin terpengaruh oleh
program itu. Jika kita menonton acara seperti Buser, Patroli atau Sergap di
televisi swasta Indonesia akan terlihat beberapa perilaku kejahatan yang
dilakukan masyarakat. Dalam acara itu diketengahkan tidak sedikit kejahatan
yang bisa diungkap.
Dalam pandangan
kultivasi dikatakan bahwa adegan yang tersaji dalam setiap acara menggambarkan
dunia kita sebenarnya.Bahwa di Indonesia kejahatan itu sudah sedemikian mewabah
dan kuantitasnya semakin meningkat.Acara itu seolah menggambarkan dunia
kejahatan seperti itulah yang sebenarnya ada di Indonesia. Contoh lain,
semakin sering kita menonton suatu sinetron, kita akan semakin beranggapan
bahwa sinetron itu adalah suatu realitas. Jika kita sering melihat tokoh ibu
tiri yang kejam di sinetron, maka di dunia nyata kita akan beranggapan bahwa
ibu tiri itu kejam dan kita akan benci jika ayah kita menikah lagi. Hawkins dan
Pingree menemukan model proses kultivasi, yaitu bahwa proses kultivasi dalam
pikiran kita terbagi dua, yaitu learning dan constructing. Apa yang dilihat
oleh audiens kemudian akan melalui tahap belajar dan diikuti tahap
mengkonstruksi dalam pikiran audiens tersebut.
B.
Teori Kegunaan
dan Gratifikasi (Theory Uses and Gratifications)
Salah satu teori yang muncul dalam kajian komunikasi
adalah teori Uses and Gratifications. Teori ini membahas tentang penggunaan
media massa oleh khalayak aktif. Dengan kata lain, penggunaan media oleh
khalayak diasumsikan sebagai sebuah perilaku aktif dimana khalayak dengan sadar
memilih dan mengkonsumsi media tertentu. McLeod dan Backer (dalam Baran dan
Davis, 2000) menyebutkan bahwa seseorang berdasarkan ketertarikan masing-masing
akan memilih media mana yang akan dikonsumsinya dan mendapatkan timbal balik
berupa pemenuhan kebutuhan yang diinginkannya.Teori ini mempertimbangkan apa
yang dilakukan orang pada media, yaitu menggunakan media untuk pemuas kebutuhanya.
Penganut teori ini meyakini bahwa individu sebagai mahluk supra rasional dan
sangat selektif.
Menurut para pendirinya Elihu Katz; Jay G. Blumler;
dan Michael gurevitch (dalam Jalaludin Rakmat,1984), uses and gratificatins
meneliti asal asal mula kebutuhan secara psikologis dan sosial yang menimbulkan
harapan tertentu dari media massa atau sumber-sumber lain, yang membawa pada
pola terpaan media yang berlainan (atau keterlibatan pada kegiatan lain), dan
menimbulkan pemenuhan kebutuhan dan akibat-akibat lain.
Elemen dasar yang mendasari pendekatan teori ini (Karl dalam Bungin,
2007):
a) Kebutuhan dasar
tertentu, dalam interaksinya dengan
b) berbagai
kombinasi antara intra dan ekstra individu, dan juga dengan
c) struktur
masyarakat, termasuk struktur media, menghasilkan
d) berbagai percampuran
personal individu,
e) persepsi
mengenai solusi bagi persoalan tersebut, yang menghasilkan
f) berbagai motif
untuk mencari pemenuhan atau penyelesaian persoalan, yang menghasikan
g) perbedaan pola
konsumsi media dan ( perbedaan pola perilaku lainnya, yang menyebabkan
h) perbedaan pola
konsumsi, yang dapat memengaruhi
i) kombinasi
karakteristik intra dan ekstra individu, sekaligus akan memengaruhi pula
j) struktur media
dan berbagai struktur politik, kultural, dan ekonomi dalam masyarakat.
2.1 Asumsi Teori Uses and
Gratification
Teori kegunaan dan
gratifikasi memberikan sebuah kerangka untuk memahami kapan dan bagaimana
konsumen media individu menjadi lebih atau kurang aktif dan konsekuensi dari
keterlibatan yang meningkat atau menurun.Banyak asumsi teori ini secara jelas
dinyatakan oleh Katz, Blumler dan Gurevitch (1974) sebagai para pencetusnya.
Mereka menyatakan terdapat lima asumsi dasar teori kegunaan dan gratifikasi (uses and gratification theory) :
1. Khalayak
merupakan sekelompok konsumen aktif yang secara sadar menggunakan media
sehubungan dengan pemenuhan kebutuhan personal maupun kebutuhan sosial yang
diubah menjadi motif-motif tertentu.
2. Pemilihan media
dan isinya merupakan sebuah tindakan yang beralasan serta memiliki tujuan dan
kepuasan tertentu sesuai dengan inisiatif khalayak.
3. Orang mempunyai
cukup kesadaran diri akan penggunaan media, minat dan motif sehingga dapat
memberikan sebuah gambaran yang akurat mengenai kegunaan tersebut kepada para
peneliti
4. Media massa
bersaing dengan sumber-sumber lain untuk dapat memenuhi kebutuhan audiens.
5. Penilaian
mengenai isi media hanya dapat dinilai
oleh khalayak
Asumsi teori ini menjelaskan bahwa khalayak aktif dan
penggunaan media berorientasi pada tujuan yang cukup jelas.Anggota khalayak
dapat membawa tingkat aktivitas yang berbeda untuk penggunaan media. Denis
McQuail mengidentifikasika cara mengklasifikasikan kebutuhan dan pemuasan
khalayak ini. Klasifikasi ini mencakup
pengalihan—keluar dari rutinitas sehari-hari, hubungan personal—yang terjadi
ketika orang menggunakan media sebagai pengganti teman, identitas personal—cara
untuk menekankan nilai-nilai individu, dan pengawasan—informasi mengenai
bagaimana media akan membantu individu mencapai sesuatu. Jay G.Bluler
menawarkan beberapa saran jenis aktivitas khalayak yang dapat dilakukan oleh
konsumen media.Termasuk di dalamnya kegunaan, kesengajaan, selektivitas dan
kesulitan untuk memengaruhi.
Teori ini juga membedakan Antara aktivitas dan
keaktifan untuk memahami dengan lebih baik tingkatan dari aktivitas khalayak,
walaupun istilah ini sering berhubungan. Aktivitas merujuk kepada apa yan
dilakukan oleh konsumen media(misalnya lebih memilih media online dalam membaca
berita, dibandingkan dengan surat kabar). Sedangkan keaktivan lebih dekat
dengan apa yang benar-benar menarik minat peneliti uses and gratification.
2.2 Aplikasi Teori
Teori Uses and Gratification ini bertujuan untuk
menjelaskan tentang informasi yang ada di dalam media terutama media massa.
Dalam teori ini audiens tidak lagi dipandang sebagai orang pasif yang hanya
menerima informasi yang disampaikan oleh media, tapi audiens berlaku aktif dan
selektif, dan juga kritis terhadap semua informasi yang disampaikan oleh media.
Teori ini dapat kita lihat, contohnya dari sinetron-sinetron
televisi yang banyak ditayangkan televisi swasta di Indonesia,
sinetron-sinetron ini umumnya banyak disukai oleh para kaum hawa, khususnya ibu
rumah tangga. Hal ini merupakan suatu fenomena yang dapat kita nilai dengan
teori Uses and Gratification, dari fenomena ini bisa dilihat bahwa para ibu
rumah tangga menilai positif akan tayangan sinetron tersebut. Padahal jika kita
menilik alur ceritanya, banyak peristiwa budayan yang sama sekali tidak
rasional dan sangat bertentangan dengan pola budaya di Indonesia.Dilihat dari
aspek rasionalitas ceritanya juga banyak yang aneh atau ganjil. Dramatisasinya
juga sangat bertele-tele, namun demikian cerita sinetron tersebut masih tetap
disukai oleh para ibu rumah tangga. Contoh di atas membuktikan bahwa audiens
berlaku aktif dalam memilih tayangan yang disampaikan oleh media massa.
Kelebihan dan Kekurangan Uses and Gratification Theory
- Kelebihan dari teori Uses and gratification adalah :
a. Mengubah audiens
yang cenderung pasif menjadi audiens yang lebih aktif dan selektif.
b. Untuk mengontrol
penggunaan media dalam kehidupan kita.
c. Untuk memenuhi
kebutuhan–kebutuhan dan pencapaian tujuan dari fungsi media itu sendiri.
- Kekurangan dari teori Uses and Gratification adalah
:
a. Seseorang
menjadi ketergantungan terhadap suatu media sehingga tidak dapat berkembang
b. Audiens akan
memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka dengan media dengan berbagai cara, meskipun
itu merugikan dirinya sendiri
c. Media sering
kali menciptakan kebingungan dan ketika hal yang membingungkan itu hadir, ketergantungan
kepada media akan meningkat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar